Selamat Datang

Terimakasih anda mengunjungi blog saya.

Minggu, 25 Oktober 2015

The second life 7



VII.     Datangnya stroke kedua
            Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya bahwa semangat dan dukungan keluarga sangatlah berarti untuk ketahanan orang yang menyandang stroke. Saya beruntung mempunyai seorang isteri yang setia, sangat perhatian pada keluarga. Perhatian dan kasih sayangnya sangat membekas pada diri saya. Saya selalu ingat kata-katanya bahwa menurut dia saya sudah sembuh.         Memang benar saya sudah sembuh. Namun sekarang saya tidak mempunyai isteri, saya merasa belahan jiwa saya sudah tiada. Tetangga saya mengatakan kepada saya, bahwa isteri saya sudah berbahagia. Ya benar, semoga isteri saya sudah berbahagia, tetapi saya merasa bahagia itu harus dengan saya. Saya ingin melihat dia bersama saya berbahagia benrcengkrama dengan cucu-cucu.   Punah harapan saya untuk berbahagia bersama isteri saya di hari tua.
            Pada suatu  hari di bulan Pebruari tahun 2011, saya mencoba terapi ala Korea menggunakan gelombang listrik di Jalan Tubagus Ismail. Saya tidak bisa mengatakan bahwa terapi tersebut ada pengaruh baik atau tidak, karena memang kondisi saya sendiri saat itu sudah cukup baik dan banyak yang saya lakukam. Selain terapi biasa seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya juga meminum obat-obat dokter, vitamin dan minuman suplemen.             Sepulangnya dari terapi ala Korea, saya berjalan kaki dari jalan Tubagus Ismail ke jalan Cihampelas, kira kira berjarak 1,2 km. Saya bermaksud untuk naik angkutan kota, angkot, menuju Sukajadi, ke rumah mertua saya.
            Sesampainya di jalan Cihampelas saya berjalan di atas trotoar menuju tempat yang aman dan diperkenankan untuk menghentikan angkot. Saat itu di atas trotoar ada sekumpulan pemuda sedang mengobrol dan juga ada sepeda motor di atas trotoar tersebut. Tentu hal itu menghalangi saya berjalan di atas trotoar, sehingga saya mencoba turun ke jalan aspal yang kira kira 25 cm dibawah trotoar, namun  terjatuh.
            Jatuhnya saya itu mungkin karena kurang konsentrasi atau emosi yang terganggu karena kesal melihat sekumpulan orang ngobrol dengan sepeda motor di atas  trotoar. Saya bangkit lagi dari jatuh dan meneruskan jalan ke tempat dimana saya bisa menghentikan angkot, kemudian dengan angkot saya pergi ke Sukajadi. Keesokan harinya saya merasakan berjalan itu agak terganggu, mungkin karena akibat terjatuh itu.
            Sebagai manusia saya terkadang lalai terhadap kondisi saya. Saya sering makan Nasi Padang yang terkenal gurih, juga Soto Ojolali yang banyak dengan  segala macam daging. Saya  juga tetap harus memikirkan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak anak saya. Setelah isteri saya meninggal, 2 kali saya menikahkan anak saya, anak yang ketiga dan anak yang keempat. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.
            Ditambah lagi saya membantu anak saya yang kedua, perempuan, walaupun sudah berkeluarga, saya membantunya menyelesaikan pendidikan S2 di ITB. Saya ikut membantu karena selain  anak saya sekantor dengan saya bahkan seruangan, disiplin ilmu yang dipelajarinya sama dengan saya, instrumentasi nuklir.
            Setidaknya semua yang dsebutkan di atas, tentulah membebani pikiran saya. Seiring dengan waktu, saya merasakan kondisi fisik saya makin menurun, utamanya dalam berjalan seperti tambah berat, kaki kananpun rasanya lebih berat. Saya bertanya kepada dokter, apakah mungkin saya melakukan latihan fisik di rumah terlalu berat. Dokter mengatakan, jangan melakukan latihan terlalu berat, lebih baik lakukan pekerjaan sehari-hari. Dokterpun mengatakan mungkin kaki kanan terlalu berat menanggung beban dalam berjalan, karena kaki kiri yang lemah.

            Setelah kali kesekian kontrol, saya akhirnya disarankan diperiksa kembali dengan CT-Scan di RSHS. Akhirnya diketahui bahwa di daerah otak saya ada tambahan penyumbatan. Saya katakan kepada dokter bahwa saya memang dalam hal makan tidak terkontrol, namun terkadang lupa minum obat tidak saya katakan.
            Sejak saat itu saya memulai lagi terapi di luar atau terkadang memanggil lagi terapis ke rumah. Untuk terapi tangan terasa mudah tetapi untuk terapi kaki cukup sulit, memang butuh bantuan. Sangat terasa lebih melelahkan dibanding saat stroke pertama. Ada sedikit beda semangat saat masih ada isteri dan setelah isteri saya meninggal. Setelah isteri meninggal, rasanya malas sekali latihan berjalan di luar rumah. Kalau dulu sewaktu isteri saya masih ada, cukup semangat latihan berjalan di luar, karena merasa di rumah ada yang menunggu..
            Suatu hari saya berbincang dengan senior saya senior saya, prof Rochestri. Saya katakan bahwa saya cukup lelah menjalani stroke ini, kesedihanpun saya alami. Sepertinya air mata saya sudah habis, tak bisa lagi menangis dalam doa.  Saya menyandang stroke dan isteripun meninggal karena sakit. Bu Rchestri berkata, “Baru kemarin saya menjenguk 6 orang yang sakit, ada tante, saudara dan keponakan. Semuanya lemah merasa putus asa, tapi saya melihat pa Didi masih mendapatkan hidayahNya, punya semangat untuk sembuh”. Mendengar perkataan bu Rochestri, justru saya menitikkan air mata, terharu. Saya lupa bahwa memang seharusnya saya tetap bersyukur bahwa saya masih mendapatkan hidayahNya, masih punya semangat.
            Di saat awal saya dikatakan mendapat stroke kali kedua, saya tetap masih bisa jalan menggunakan tongkat. Saya masih sanggup mengikuti reuni dengan teman teman SMA di luar kota, Cianjur. Saya  tetap melakukan terapi sendiri dan kontrol ke dokter Anam dan sekali-kali terapi di Santi Physiotherapy Clinic atau memanggil terapis ke rumah. 

           Namun usia tua memang masanya segala kendala bisa timbul. Di tahun 2012 saya menjalani operasi prostat. Wajar bagi laki laki yang sudah berusia lebih dari 60 tahun. Dan untuk memulai operasi postat, ada beberapa obat yang biasa diminum, dihentikan untuk sementara.
            Seiring dengan waktu, anak-anak saya sudah menikah semua, punya kesibukan masing-masing dan sayapun tidak pernah lagi kontrol ke doktor karena tidak ada yang mengantar. Saya tetap meminum obat, sesuai dengan resep dokter sebelumnya, namun saya membelinya secara langsung dari apotek.
            Sangat berbeda dari sebelumnya, jika saya melakukan latihan sepeda statis, walaupun cukup lama tapi susah keluar keringat. Oleh karena itu saya dalam latihan sepeda statis terkadang diselingi minum air hangat, barulah terasa ada keluar keringat walaupun sedikit.           
            Waktu berjalan terus, saya merasakan kondisi yang lebih memburuk. Banyak sekali hal yang saya anggap kendala, susah pipis, susah buang air besar, sepertinya juga ada gangguan alat vital. Ibu jari tangan kiri saya terlihat sangat menekuk baik dalam kedaan rileks ataupun sedang dalam kegiatan yang lain.  Juga kelemahan sangat terasa pada lutut, saya tidak mampu bangkit dari keadaan jongkok untuk berdiri. Jika duduk di kursi, rasanya pantat saya kecil, tidak berdaging, serasa tidak mantap duduknya. Jika duduk di kursi panjang, saya tidak mampu bergeser duduk tanpa bantuan tangan. Kaki kiri kalau diangkat waktu melangkah terasa gontai.
             Saya melakukan shalat dengan duduk  di kursi, tidak bisa lagi ikut berjamaah dalam shalat Jumat. Saya tidak bisa lagi untuk duduk di belakang sepeda motor dengan naik melalui pinggir belakang sepeda motor, melainkan naik dari bagian tengah sepeda motor dimana posisinya lebih rendah, kemudian bergeser ke belakang.
            Saya terpaksa berturut-turut tidak mampu untuk memperpanjang Surat Ijin Mengendarai sepeda motor (SIM C), kemudian  SIM A untuk mobil. Mungkin inilah takdir yang sebenarnya secara tidak  langsung saya harapkan. Saya takut dengan kecelakaan lalu lintas terhadap saya. Saya takut terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kesalahan saya dalam mengemudi kendaraan bermotor.
            Mengenai kondisi saya yang terasa memburuk, terapis yang datang ke rumah mengatakan bahwa mungkin saja saya mendapat serangan stroke kecil-kecilan yang bisa saja diakibatkan oleh pikiran yang terganggu. Mungkin saja, karena memang sebelumnya saya harus tetap memikirkan tanggung jawab sebagai orang tua walaupun tanpa kehadiran seorang isteri.  
            Terapis mengatakan bahwa kepulihan dari stroke menunggu perbaikan syaraf di otak, karena jaringan di otak bisa mencari jalan sendiri untuk membaik dengan sendirinya dan dengan bantuan obat dan vitamin-vitamin. Saya bertanya, ‘Kalau menunggu perbaikan syaraf di otak, kenapa dilakukan fisioterapi. Terapis menjawab bahwa ibarat kita naik sepeda, walaupun kita belum lancar naik sepeda, diperbaiki dulu bagian-bagian yang lain, seperti ban, rante dan sebagainya, sehingga walaupun kita belum lancar mengemudi, sepedapun masih bisa melaju.
            Kali ini saya tidak berlatih bicara dengan membaca sajak, tapi saya melakukannya membaca kitab suci Al Qur’an. Sebelumnya saya tidak bisa membaca Al Qur’an, namun anak-anak membelikan saya, Al Qur’an yang berwarna lengkap dengan CD (Compact Disk) dan pen untuk tutorial membaca. Selain itu anak saya mendatangkan seorang ustadz, seminggu sekali untuk membimbing saya dalam membaca Al Qur’an, mulai dari awal membaca huruf dan tajwid, aturan mengucapkan dan membaca.
            Pada awalnya memang susah melafalkan kata kata dalam Al Qur’an, tapi akhirnya bisa juga. Selain memang membaca Al Qur’an itu adalah kewajiban bagi umat muslim, membaca Al Qur’an itu bagus untuk berlatih mulut dan lidah untuk bisa melafakan kata kata. Bagi saya sebagai penyandang stroke yang masih belajar membaca Al Qur’an, untuk membaca dengan baik diperlukan ketenangan dalam membaca. Hal ini juga memberikan efek yang baik, saya belajar berbicara dan bersikap lebih tenang.
            Akhirnya pada bulan Oktober 2012 saya pensiun dari pegawai negeri, tidak menggunakan kesempatan memperpanjang usia kerja sampai berumur 65 tahun. Saya merasa lega, anak-anak sudah menikah semuanya dan anak saya yang kedua pun sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya. Pensiun dari kantor berarti juga saya tidak bisa lagi latihan naik tangga yang ada di kantor, yang sebelumnya setiap hari kerja, saya dipaksakan untuk naik turun tangga sampai ke tingkat 3 dimana ruangan tempat saya kerja berada.
            Kendatipun saya sudah pensiun, hidup tanpa isteri dan anak-anak semuanya menikah, saya tetap tidak kontrol ke dokter, kecuali jika ada teman yang kebetulan bisa mengantar. Anak-anak punya kesibukan masing masing, tinggal di luar kota dan saya tinggal di rumah ditemani anak saya yang kedua beserta suaminya dan anak-anaknya.

            Memang anak kedua saya juga punya rumah, masih di Bandung tapi mungkin khawatir kalau saya tinggal di rumah sendirian maka mereka tetap tinggal bersama saya. Mereka adalah suami isteri punya pekerjaan masing masing. Anak saya sebagai pegawai negeri dan suaminya di swasta, mengajar. Ketika mereka bekerja, hampir tiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu, anaknya yang besar di-pra-sekolah-kan di Sekolah Alam dan yang terkecil dititpkan di tempat penitipan bayi..
            Kami pernah punya pembantu yang bekerja sejak isteri saya sakit sampai beberapa tahun setelah isteri saya meninggal. Namun kemudian berhenti karena sudah sepuh. Jadi sayapun sering berada di rumah sendirian dan sayapun biasa mengerjakan pekerjaan sehari-hari seperti mncuci pakaian sendiri dan mencuci piring bekas makan sendiri.
Beraktifitas dan menjalani stroke di rumah
            Setelah pensiun, saya tetap aktif di media sosial, di facebook. Di dunia maya saya tetap berkomunikasi dengan teman-teman, baik itu teman sekantor, pensiunan atau teman-teman sesama alumni SMA bahkan dengan teman baru yang kenal melalui facebook. Kiranya teman teman SMA-lah yang paling senang untuk dikenang, masa remaja.
            Saya juga ikut dengan sukarela mengkampanyekan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI ataupun dalam pemilihan presiden. Saya sering memberikan komentar di media online. Dengan melihat rekam jejak Jokowi sejak menjadi Walikota Solo, saya menganggap Jokowi adalah harapan untuk membawa Indonesia jauh lebih baik.
            Setiap pagi secara rutin melakukan latihan menggerakkan tangan, sedangkan untuk latihan kaki agak sulit karena memang butuh bantuan. Dalam latihan penguatan kaki, kaki kiri dibuka selebar mungkin dan dengan sedikit ditahan saya menariknya kembali. Demikian juga sebaliknya, kaki saya diangkat dan dengan sedikit ditahan, saya mendorongnya ke luar.
 Saya memanggil terapis untuk datang ke rumah menerapi saya seminggu 2 kali. Awalnya lancar tetapi seiring dengan waktu, terapis saya pun punya kesibukan tersendiri sehingga terkadang tidak bisa memenuhi panggalan saya..  
            Hanya kadang kadang ada teman yang mengajak saya berobat alternatif, namun hasilnya tidak terasakan oleh saya. Dan terkadang saya bingung, karena ada saran, jangan minum obat dokter. Walaupun saya tidak kontrol dokter, namun saya tetap minum obat seperti yang dulu dalam resep dokter. Saya meminta tolong menantu saya untuk membelikan obat secara langsung tanpa resep dokter.
            Lama berlangsung, saya mengganti obat Clopisan yang menurut dokter sebagai pengencer darah dengan Clopidogrel yang lebih murah. Kondisi tubuh saya terkadang suatu hari terasa nyaman tapi di lain hari terasa tidak nyaman, terasa mudah lelah jika berbicara. Kedua kaki mudah bengkak dan terasa panas. Jika tubuh terasa nyaman, saya terkadang berlatih berjalan menggunakan tongkat, bolak balik dari ruang makan sampai ruang tamu, bisa 10 balikan.
            Dengan perantaraan tukang, saya memasang beberapa batang besi untuk pegangan saya di beberapa tempat, termasuk di kamar mandi. Sayapun mengganti tempat buang air besar yang jenis jongkok dengan yang jenis duduk, khusus di kamar mandi yang biasa saya gunakan.
            Saya memasang pemanas air yang elektrik, karena untuk mandi saya harus menggunakan air hangat. Kaki saya akan terkejut jika secara tiba tiba kena air dingin, sehingga mungkin bisa terjatuh walaupun saya mandi sambil duduk di kursi plastik.
            Demikian saya jalani  menyandang stroke kali kedua lebih dari 3 tahun. Saya tetap berusaha untuk pulih, tetap berusaha untuk mandiri, mencuci pakaian sendiri, mencuci piring bekas makan sendiri. Keinginan melakukan pekerjaan sehari-hari itu selalu ada.
            Saya pernah pergi ke dokter gigi untuk menyabut gigi saya. Saya mempersiapkannya dengan beberapa hari tidak memakan obat stroke, karena pengalaman saya waktu mau operasi prostat, ada obat yang dihentikan dulu selama beberapa hari. Sampai di dokter gigi, dokter tidak mau menyabut gigi saya karena tekanan darah saya dianggap tinggi. Saya salah, yang boleh dihentikan sementara adalah Clopisan dan vitamin-vitamin, jangan Amlodipine sebagai obat penurun tekanan darah tinggi. Akhirnya minggu depannya gigi saya bisa dicabut.
            Memang saya merasakan beda suasana setelah istri saya meninggal. Sewaktu isteri saya masih ada, rumah terurus rapi dan bersih, maklum anak-anak-pun sudah besar. Sekarang di rumah saya bersama keluarga anak saya dan cucu saya. Sebagai keluarga muda dengan anak dua yang masih kecil, tentulah merasa kerepotan mengurus rumah tangga, di samping mereka pun punya kegiatan untuk mencari penghidupannya. Dan memang sedikit berbeda orang tua sekarang dengan jaman saya sebagai orang tua. Orang tua sekarang jarang melarang anaknya, jarang sekali menggunakan kata “jangan” terhadap anak-anaknya.  Rumah terasa tak terurus, kursi tamu rusak, robek dan mainan anak-anak berceceran dimana-mana. Bagaimanapun juga kondisi lingkungan terasa masuk dalam pikiran saya. Tapi saya harus bisa menerimanya, karena begitulah kenyataanya. Tapi di sisi lain, saya terhibur bisa bermain dan bercengkrama dengan cucu-cucu saya, memperhatikan perkembangan mereka. Sampai sekarang cucu saya sudah 6 orang, dan insya Allah akan bertambah lagi.
            Memang terkadang saya teledor dalam melakukan sesuatu, saya cukup sering jatuh terduduk, apakah itu di kamar mandi atau di kamar tidur. Di bulan Pebruari 2014, saat itu memang cuaca sangat ekstrim, hujan berkepanjangan. Daerah Khusus Ibukota Jakarta mengalami banjir besar, Bandung dan sekitarnya hujan terus menerus. Karena saya penyandang stroke maka saya kerepotan dengan cuaca dingin. Saya lebih menyukai cuaca yang agak panas.
            Suatu hari saya menggunakan pemanas listrik. Saya duduki bantal pemanas dengan kedua paha saya dengan listrik terpasang terus pada bantal pemanas itu. Sesudah berapa lama saya selesai menggunakan pemanas itu, saya duduk di kursi tamu. Saat saya memegang paha kiri saya, ternyata basah. Ternyata kulit paha sebelah kiri saya melepuh kepanasan, sedangkan paha kanan saya yang tidak terganggu stroke tidak melepuh. Jadi rupanya paha sebelah kiri yang terganggu stroke tidak tahan panas.  Saya obati sendiri dengan bantuan anak saya, menggunakan salep untuk luka bakar.
            Akhirnya seminggu hasilnya tidak cukup memuaskan, saya berobat ke R S Advent, ke bagian luka bakar. Empat kali berobat ke RS Advent ke bagian luka bakar, seminggu sekali akhirnya hasilnya sudah cukup bagus. Tapi kulit yang bekas terbakar itu menjadi tidak mulus, berbenjol-benjol. Kalau disentuh  masih terasa sakit, hal ini berlangsung lama, hampir 2 tahun sampai saat buku ini ditulis.
            Kalau saya sedang mau beristirahat tidur, saya perhatikan kaki kiri saya sering sekali tiba tiba bergerak sendiri, berkejut,  sepertinya ada hubungan dengan bekas luka bakar paha kiri. Dan memang jika bekas luka bakar itu saya pegang, kaki saya berkejut, sangat sensitif. 
            Tapi kadang dalam setiap kejadian jelek yang menimpa saya, selalu saja melihat apa sisi lain yang patut disyukuri. Sebelumnya, di paha kiri saya ada semacam daging lebih, kecil memanjang. Mungkin itu hal yang umum bagi orang-orang yang berusia lanjut, nggak tahu apa penyebabnya. Saya merasa risi dengan adanya daging lebih, kecil memancang itu, dan kalau saya sehat bermaksud akan berobat ke dokter untuk menghilangkannya. Tapi dengan kejadian paha kiri yang terbakar karena pemanas listrik itu, daging lebih itu hilang ikut melepuh.
            Waktu terus berlalu, kondisi saya lebih jelek dari sebelumnya sampai akhirnya saya berjalan tidak lagi menggunakan tongkat berbatang satu melainkan menggunakan walker, alat bantu berjalan yang berbatang kaki 4..
Orang yang menyandang  stroke butuh bantuan
            Bulan April 2015, anak saya yang bekerja sebagai PNS, yang dulu sekantor dengan saya, memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. Dia merasa lebih baik bekerja di rumah sehingga bisa mengurus anak-anaknya, namun tetap mempunyai usaha berdagang kerudung dan baju muslim secara online melalui internet.
            Ada hikmahnya, saya mempunyai kesempatan untuk bisa diantar kontrol ke dokter, apakah oleh anak saya atau oleh menantu saya. Maka saya mulai lagi kontrol ke dokter, dan saya memilih kontrol ke RS Advent yang lebih dekat ke rumah dengan dr.  Adelina Yasmar Alfa, Sp.S. Namun belakangan saya tahu, ternyata dr. Anam yang kini sudah bergelar Doktor, DR, juga praktek di RS Advent, cuma waktunya hanya pada hari hari tertentu dan jam prakteknya juga singkat.
Syaraf kecepit
            Waktu  kali pertama saya diperiksa oleh dr Adelina, saya terangkan bagaimana awalnya saya kena stroke, perkembangannya sampai keadaan sekarang. Dr Adelina menguji respon kedua tangan dan kedua kaki saya. Respon kaki kiri dan tangan kiri dimakluminya karena memang akibat stroke, sedangkan tangan kanan dan kaki kanan berbeda respon, akhirnya saya disarankan uji tulang punggung melalui MRI, Magnetic Resonance Imaging di Rumah Sakit Santosa setelah terlebih dahulu melakukan cek darah di Laboratorium Kesehatan, Departemen Kesehatan.             Seminggu kemudian dari uji tulang punggung, dokter Adelina mengatakan bahwa saya mengalami syaraf kecepit di tulang belakang bagian bawah. Jadi sebenarnya bisa jadi saya mengalami syaraf kecepit itu sejak lama, tapi saya tidak merasakan ada yang sakit pada punggung baik dari bagian atas sampai ke bagian bawah..
            Saya tidak tahu apakah yang menyebabkan syaraf kecepit itu adalah karena saya memang sering jatuh terduduk ataukah karena saya sering memosisikan tubuh secara tidak benar. Saat saya mencuci pakaian, mencuci piring atau lagi pipis di pispot, posisi tubuh itu agak membungkuk dan lutut agak menekuk karena ada perasaan takut jatuh. Situasi tidak enak juga saya rasakan saat saya membonceng sepeda motor, duduk di belakang dan jalannya naik. Posisi duduk itu sangat tidak enak, membungkuk dan tubuh itu serasa tertekan, apalagi jika ada goncangan karena jalan yang tidak rata.
            Pantas saya merasa kondisi saya sekian lama memburuk, kedua kaki terasa panas, mudah bengkak dan telapak kaki terasa baal. Dalam suatu keadaan tertentu, kaki kiri itu mengejang kaku dan memanjang. Telapak kaki serasa tidak mantap saat menapak lantai. Berjalan walaupun menggunakan tongkat terasa lebih susah dan lemah, lutut terasa lemah. Pipis sering tidak lancar padahal saya sudah menjalani operasi prostat. Buang air besarpun susah, bisa beberapa hari tidak bisa uang air besar.
            Waktu stroke pertama saya tidak mempunyai masalah dengan pipis ataupun buang air besar, tetapi setelah stroke kedua.seiring dengan waktu saya merasakan susah untuk pipis dan buang besar. Sehingga saya suka mengatur waktu untuk buang air besar, yaitu dengan cara diawali meminum susu murni beberapa gelas dan juga minum vegeta, agar bisa buang air besar walaupun mencret.
            Saya telah membiarkannya gejala tersebut berlangsung lama. Saya ingin mandiri dalam melakukan segala hal yang rutin dilakukan sehari-hari, tetapi secara tidak sadar memosisikan tubuh tidak benar karena takut jatuh. Misalnya jika saya pipis di pispot dengan berdiri, satu tangan kanan memegang pispot dan satu tangan memegang pegangan agar tidak jatuh, serta badan membungkuk tidak simetris dan pipisnya lama namun sedikit. Pipisnya di malam hari, sedikit tapi sering sehingga tidur pun terganggu.
            Saya cukup kaget saat pemeriksaan awal untuk kontrol ke dokter yang kali kesekian, di nurse centre ada perawat mengatakan bahwa dengan syaraf kecepit ada yang bisa membuat kelumpuhan. Saya tidak ingin menjadi lumpuh. Insya Allah.
Latihan terasa lebih berat
            Setelah mengetahui saya mengalami syaraf kecepit, dr Adelina menyarankan saya untuk selalu mengguanakan korset dan dilepas jika untuk tidur. Penggunaan korset adalah untuk menghindari perubahan bentuk dari susunan tulang belakang yang mungkin akan memperburuk kondisi saya.  
            Di samping itu, dokter menyarankan untuk terapi saraf kecepit di tulang belakang bagian bawah  menggunakan alat ultra sound,  serta latihan penguatan kaki seperti dulu. Terapi disarankan seminggu 3 kali dan kontrol dokter sebulan sekali. Dr Adelina mewanti-wanti agar saya jangan jatuh dan tetap menggunakan walker  untuk berjalan.  Hal itu benar karena bila saya jatuh, akan sulit kembali bangkit tanpa dibantu oleh orang lain. Tapi kondisi keuangan yang terbatas, terkadang saya hanya melakukan terapi di luar seminggu 2 kali, tetapi di rumah saya tetap latihan sendiri. Dan  dokter pun menambah obat-obat yang harus saya minum.
            Walaupun saya mempunyai asuransi kesehatan sebagai pensiunan PNS, saya tidak menggunakannya, berhubung saya tidak bisa menunggu terlalu lama menunggu berobat, karena biasanya pasen peserta BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan)  banyak sekali. Demikian juga obat-obatan saya beli di apotik dengan resep dokter. Beruntung saya sebagai pensiunan PNS mempunyai uang pensiun tiap bulan dan juga saya sudah tidak punya tanggungan keluarga, Semua anak saya sudah berkeluarga.
            Tetapi dasar memang usia sudah lanjut, sesudah 2 bulan saya berobat timbul masalah baru, telinga saya berdenging terus, sangat terasa di pagi hari sesudah bangun tidur. Awalnya pada malam hari saat saya terbangun, mendengar seperti suara berdenging, kemudian saya membangunkan anak dan menantu saya untuk memeriksa apakah ada gas untuk kompor yang bocor. Namun anak dan menantu tak mendengar suara apapun. Dan pada pagi harinya saya bangun tidur ternyata suara berdenging itu tetap ada, jadi rupanya pendengaran saya yang bemasalah. Sayapun berobat ke dokter THT, telinga dibersihkan, tetapi berdengingnya telinga itu masih tetap ada.
            Saya merasakan berdenging telinga itu mengganggu keseimbangan saya. Biasanya jika  bangun tidur saya bisa berdiri langsung, sekarang untuk berdiri saya harus duduk dulu di kasur sejenak. Dokter mengatakan itu gangguan syaraf yang bisa juga karena hipertensi.
            Akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan uji pendengaran dan kesimpulannya saya harus menggunakan alat bantu pendengaran. Diterangkan bahwa alat bantu pendengaran bisa mencegah kualitas pendengaran menurun dan merangsang syaraf telinga untuk bisa pulih,
Mengapa menulis buku
            Buku ini saya tulis sebagai ungkapan terimakasih, mengenang kasih sayang, perhatian, pengorbanan yang tulus ikhlas dari almarhumah isteri saya dalam menyertai perawatan saya, sembuh dari stroke pertama.
            Awalnya adalah saran dari terapis di Rehabilitasi Medik RSHS, pak Kurniawan yang melihat kemajuan pulihnya saya dari stroke pertama dan semangat untuk sembuh pada diri saya. Isteri saya membantu membuat catatan tentang kemajuan saya untuk sembuh dari stroke pertama.
            Namun ketika saya mendapat stroke kali kedua dan istri sayapun telah tiada,  semangat menulis buku itu agak memudar, saya merasa gagal sembuh. Kemudian setelah saya tahu bahwa saya mengalami syaraf kecepit di tulang belakang bagian bawah, saya kembali melanjutkan menulis buku. Keinginan berbagi pengalaman tentang bagaimana saya menyandang stroke, bersemangat untuk sembuh dari stroke pertama dengan peran keluarga yang mendukung. Bagaimana saya teledornya sehingga mendapatkan stroke kali kedua dan juga syaraf kecepit.
            Saya tetap bersemangat untuk sembuh, walaupun latihannya sangat terasa lebih berat, kaki lebih kaku. Target akhir dari latihan terapi, saya ingin kedua lutut saya kuat, mampu berdiri dari keadaan jongkok. Bisa  mengangkat kaki, mengayunkan kaki hanya dengan otot kaki, bukan dengan otot pantat atau badan dan keseimbangan dalam berdiri harus lebih baik lagi. Saya berpacu dengan waktu, di satu sisi ingin kuat tapi di sisi lain, usia yang bertambah tua, yang fitrahnya adalah melemah dalam kekuatan. Saya harus sabar merasakan perkembangan kemajuan yang lambat, namun saya tetap akan berusaha.
            Saya mengenang bagaimana dulu isteri saya dapat mengantar kesembuhan dari stroke pertama. Bagaimana kehadiran seorang isteri dapat memberikan semangat, melayani keluarga,  memberikan ketenangan bagi suami yang menyandang stroke walaupun sang isteri sebenarnya  sedang sakit. Bagaimana rumah bisa terurus, bersih, rapih oleh kehadiran seorang isteri yang tidak terpungkiri membawa pengaruh pada kesembuhan saya dari sakit stroke. Ada penyesalan pada diri saya, tidak bisa ikut menjaga kesehatan istri saya, walaupun benar semuanya adalah takdir.
            Saya bahagia punya kesempatan melihat cucu-cucu saya, bercengkrama dengan cucu-cucu, tapi terasa ada yang kurang karena isteri saya tidak bersama saya, bercengkrama dengan cucu-cucunya. Dia yang melahirkan anak-anaknya, sepatutnya ia bisa melihat, bercengkrama dengan cucu-cucunya. Tapi takdir berkehendak lain. Semoga ia bahagia  di alam lain, diampuni segala dosanya, diterima amal baiknya, diterima iman Islamnya dan ditempatkan di tempat yang layak dalam pandangan Allah SWT.
            Saya ingin para cucu saya membaca tulisan ini, saya ingin mereka tahu bahwa kakek menyintai neneknya, saya ingin mereka tahu, begitulah neneknya, memberikan perhatian, kasih sayang, melayani dengan keikhlasan terhadap keluarganya. Mereka ada karena neneknya pernah ada. Semoga mereka menjadi orang-orang yang baik, berguna bagi sesamanya dan menjaga keluarganya, selamat dalam lindungan Allah SWT.
            Dan saya menganggap kehidupan saya sebagai penyandang stroke dengan segala problemanya adalah kehidupan kedua, the second life.

(Sabar dan tawakal namun tetap semangat, menghindari takdir menuju takdir yang lebih baik)


2 komentar: