I. Kehidupan
Masa Kecil
Bandung
kota di masa kecil
Bandung adalah kota yang
menyenangkan di saat masih kanak-kanak, semua kenangan masa kecil, tidak akan pernah saya lupakan. Saya memang lahir di Cirebon,
tanggal 11 Maret 1950, namun kehidupan masa kecil, saya jalani di kota Bandung, tinggal di Jalan
Pasirkaliki. Pendidikan mulai dari Taman
Kanak-Kanak “Yayasan Beribu” saya ikuti di Jalan Dr Susilo, kemudian Sekolah
Rakyat di Jalan Pajajaran, dekat Rumah Buta atau sekarang disebut Wiyata Guna dan Lapangan Olah Raga Pajajaran yang
dahulu sebelumnya adalah Kuburan Belanda atau sering disebut Kerkof.
Ayah saya adalah pengusaha toko
potret, membuka usaha di bidang fotografi
dengan nama Photo Studio Gamma dan CV Gamma begerak dalam usaha perdagangan umum. Dengan
menggunakan kata’Gamma’, saya bisa menyimpulkan bahwa ayah saya adalah orang yang suka
membaca buku dan suka ilmu pengetahuan. Dan memang sepengetahuan saya, di masa
ayah masih hidup, beliau suka bereksperimen dalam
proses fotografi baik kimiawi maupun teknik lainnya. Namun tak
terbayangkan di kemudian hari saya akan akrab dengan dengan kata ‘Gamma’. Setelah
dewasa, saya bekerja di Pusat Reaktor Atom Bandung yang banyak berhubungan
dengan penggunaan sinar gamma.
Masa kecil adalah masa yang penuh dengan
aktivitas bermain dan kota Bandung pada tahun 1950-an masih memberikan kenyamanan untuk
bermain di alam terbuka. Saya dan
teman-teman sering berjalan
kaki dari rumah ke bukit ujung Ciumbuleuit, yang
sekarang dikenal dengan nama Punclut hanya untuk mencari binatang jangkrik
atau kasir.
Suasana di jalan besar tidak terlalu ramai, cukup aman bagi pejalan kaki, cuaca tidak terlalu panas karena masih banyak pohon pohon besar. Di
pinggir sepanjang jalan Pasirkaliki masih tertanam pohon-pohon kenari yang besar
dan rimbun. Saya
juga sering nonton bioskop di bioskop yang tiketnya cukup murah yaitu Jamika, Sahati, Karapitan, Bison dan sebagainya yang letaknya
cukup jauh dari rumah namun tetap ditempuh dengan jalan kaki.
Bersama
teman-teman
pergi ke sungai Cikapundung untuk berenang, menghanyutkan diri menggunakan batang pohon pisang.
Sungguh menyenangkan dan berenang di sungai Cikapundung pun tidak terlalu kotor.
Memang masa kecil juga dipenuhi
dengan segala aktivitas yang mungkin bisa dianggap tidak baik, yang tidak
terpikir oleh kami
sebagai anak-anak dahulu adalah salah atau melanggar hukum. Saya pernah bersama
teman-teman pergi ke Kebun Binatang, atau saya menyebutnya Derenten di jalan Tamansari, masuk
dengan cara menerobos kawat berduri yang berada di bagian pinggir belakang Kebun Binatang.
Waktu itu saya tidak punya perhatian dengan bangunan dekat
Kebun Binatang, mungkin karena masih kanak-kanak. Tidak pernah punya perhatian bahwa di seberang jalan Tamansari
itu adalah Institut Teknologi Bandung, perguruan tinggi yang terkenal di kota
Bandung. Pada masa masa itu tidak banyak aktivitas mahasiswa yang menyolok, semuanya masih
terlalu sepi.
Namun ada satu hal yang membuat saya
sekarang merenung, sadar
akan takdir, bahwa ternyata kurang lebih 15 tahun kemudian, tahun 1974 saya bekerja di Pusat Reaktor Atom
Bandung, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), yang letaknya tepat bersebelahan dengan Kebun Binatang. Di tempat sekitar itu saya dan teman-teman menerobos kawat berduri
untuk masuk
Kebun Binatang.
Pembangunan
proyek atom dimulai awal tahun 1960-an
dan pada bulan Pebruari tahun 1965, Pusat Reaktor Atom Bandung dengan Reaktor
Atom Triga Mark II buatan Amerika berdaya 250 kW diresmikan oleh presiden
Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno .
Tahun 1962 saya meninggalkan kota Bandung
berpindah-pindah ke kota Subang mengikuti
orang tua.
Di kota Subang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, SMP Negeri 1, kelas 1 sebagai siswa
pindahan. Ketika duduk di bangku SMP kelas 1, saya kehilangan kasih sayang seorang ibu. Ibu meninggal pada tahun 1963
bersama bayi
dalam kandungannya. Ibu mungkin seorang yang merasa kelelahan, ketika meninggal ibu sudah
mempunyai anak delapan dari ayah saya dan sebelumnya sudah mempunyai anak 2
orang dari suaminya terdahulu. Tapi ibu
adalah seorang yang enerjik penuh semangat, yang saat sebelum meninggal masih
harus mondar mandir Bandung–Subang untuk menyelesaikan kasus penipuan yang menimpa usaha ibu. Ibu tertipu
dalam pembelian terigu yang fiktif.
Sejak itulah setelah ibu meninggal, kami sebagai anak-anak merasa
kelimpungan harus mengurus diri sendiri bersama ayah. Ayah adalah seorang
pekerja dengan keahlian fotografi, yang senang melakukan eksperimen, tapi ayah bukanlah orang yang
terbiasa berurusan usaha dengan dunia luar. Sepertinya ayah adalah orang yang selalu
memerlukan isteri sebagai pendamping dalam kegiatan usaha. Saat itu ayah hanya membuka usaha
fotografi di rumah
dan bersifat statis, tentu saja saya dan kakak sayapun belum dapat membantu
karena kakak saya pun saat itu masih kelas 3 SMP.
Saya menamatkan SMP pada tahun 1965,
kemudian saya melanjutkan sekolah ke Sekolah Analis Kimia Bogor karena
ayah ingin saya menjadi orang yang tahu ilmu kimia, diharapkan suatu waktu mampu
berkiprah dalam dunia material-material fotografi. Namun saya tidak
dapat menyelesaikan sekolah di Sekolah Analis Kimia
karena berhubungan dengan soal biaya hidup. Saya pindah lagi sekolah di Sekolah
Menengah Atas,
SMA Negeri 204 Subang,
hidup bersama kakak karena pada saat itu ayah sempat pernah menikah lagi dan
tinggal di Tasikmalaya, namun tidak terlalu lama kemudian bercerai lagi. Sejak
itu saya bersekolah secara seadanya dengan memaksakan diri sambil tetap
melakukan usaha fotografi di rumah seadanya.
Waktu
telah memberikan kesempatan bagi ayah untuk mewariskan keahlian fotografi
kepada anak-anaknya.
Kehidupan memang sulit, berbagai situasi dialami oleh saya pribadi sampai akhirnya
saya lulus SMA-nya
di SMAN 25 Purwakarta pada tahun 1969 setelah ikut bersama kerabat saya
yang menjadi guru di SMAN 25 Purwakarta. Berbagai kesulitan saya jalani untuk mencari dan mempertahankan
hidup, yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran sebelumnya.
Saya kembali ke kota Bandung tahun
1971 untuk kuliah di Akademi Instrumentasi - Lembaga Instrumentasi
Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tidak pernah terduga sebelumnya
bahwa kehidupan akan terasa penuh keprihatinan di masa remaja. Tapi saya
beruntung telah mempunyai keahlian dalam fotografi sebagai warisan dari ayah
saya, yang akhirnya mampu membiayai diri
sendiri untuk menyelesaikan kuliah di Akademi Instrumentasi Nasional jurusan
instrumentasi elektronika.
Saya
bekerja sebagai tenaga di kamar gelap, proses fotografi. Itu adalah takdir, namun bagaimanapun juga saya
bersyukur kepada Tuhan, bahwa saya masih diberi kehidupan, masih tetap punya semangat. Kita hanyalah mahluk yang lemah, yang
tiada daya tanpa hidayahNya.
Kehidupan Yang Sehat
Ketika
kita hidup lengkap bersama orang tua, tentu disayang mereka. Kebetulan pada
saat saya masih kecil kehidupan orang tua berkecukupan dengan hasil usahanya. Saya cukup mendapatkan makanan
yang baik, makanan yang sehat. Minum susu, makan bubur kacang hijau, sarapan roti dengan mentega ataupun jajanan pasar sering saya dapatkan di
masa kecil. Hidup terasa sulit ketika saya menginjak usia remaja karena
kehilangan seorang ibu, sedangkan ayah adalah seorang yang terbiasa bekerja
sendiri dengan keahliannya, tetapi kurang terbiasa berurusan dengan usaha di luar.
Oleh karena itulah ayah sebenarnya membutuhkan isteri untuk mendampinginya
dalam usaha.
Saya
bersyukur mempunyai keahlian dalam fotografi yang akhirnya mampu membiayai
kuliah saya dan menyelesaikan kuliah. Kehidupan yang sulit menjadi berkah bagi
saya untuk berpikir sehat, saya tidak terbiasa merokok ataupun minum minuman
beralkohol dan sebagainya. Namun kehidupan yang sederhana tentunya terbiasa
dengan makanan yang sederhana seperti tahu, tempe, ikan asin dan sebagainya.
Tahun
1974 saya diterima bekerja di Pusat Reaktor Atom
Bandung-Batan, sebagai
PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang lokasinya di jalan Tamansari, tepat bersebelahan
dengan Kebun
Binatang, tempat saya dulu bermain dan masuk secara menerobos kawat
berduri.
Setelah
mempunyai pekerjaan tetap, alhamdulillah kehidupan saya lebih teratur. Saya
indekos di jalan Sukalaksana, Sukajadi tidak terlalu jauh dari tempat saya
bekerja. Disitulah saya bertemu dengan Yani seorang wanita dari etnis Jawa,
anak dari ibu tempat saya indekos dan akhirnya pada tahun 1979 saya menikah
dengan Yani.
Takdir
dari Yang Maha Kuasa saya mempunyai isteri Yani, yang namanya terkandung dalam
nama saya, Didi Gayani. Bagi saya, Yani adalah anugerah yang paling berarti
dalam kehidupan saya. Setelah menikahpun saya sempat menyelesaikan studi di
IKIP Bandung (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung), yang sekarang
berubah nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia, UPI.
Saya
mengarungi kehidupan bersama Yani, suka dan duka sampai akhirnya mempunyai anak
4 orang dan alhamdulillah semuanya selesai dengan pendidikannya di perguruan
tinggi. Bahkan saat hidup bersama Yani, kami sempat menikahkan 2 anak kami,
anak pertama laki-laki, Dimas Adiyaat Gammayani yang bekerja di Perpustakaan
Bung Karno Blitar, menikah di Sidoarjo, Jawa Timur dengan sesama pegawai negeri
sipil. Dan anak kedua, Widya Arrum Gammayani, perempuan, seorang pegawai negeri
sipil di Batan, sedangkan suaminya bekerja di swasta. Saat menikahkan anak
kedua, saya dalam keadaan menyandang stroke.
Gambar I.1 Awal
menikah
Setelah
menikahpun, alhamdulillah
saya jarang atau tidak suka merokok.
Demikian juga saya tidak suka mengkonsumsi minuman beralkohol, narkoba dan sebagainya.
Bagi saya hal-hal yang demikian itu bukan saja terlarang, tapi terasa tidak enak, tidak pernah sedikitpun saya
ingin merusak tubuh dengan hal-hal yang demikian. Saya sadar dan ingat bahwa sejak kita bayi, orang tua kita memberi kita makanan
dan minuman yang sehat, maka mengapa kita sekarang harus merusaknya?
Namun ada hal hal keliru yang
mungkin saya lakukan dalam mengkonsumsi makanan, sebagai orang yang hidup
sederhana di kala muda. Saya suka ikan
asin, tape beras ketan, rengginang dan lain sebagainya, bahkan sangat suka.
Hal-hal tersebut ingin saya katakan
di sini karena akhirnya kelak akan berpengaruh pada kondisi kesehatan saya. Ada
hal yang membuat jadi buruk tapi ada hal lain juga yang membuat saya bertahan
tidak terlalu buruk.
Gambar II.2 20
tahun perkawinan
(Orang
tua memberi kita makan dengan makanan
dan minuman yang sehat, janganlah
setelah dewasa kita merusaknya dengan makanan dan minuman yang tidak
sehat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar