Selamat Datang

Terimakasih anda mengunjungi blog saya.

Sabtu, 24 Oktober 2015

The second life 1



I.     Kehidupan Masa Kecil
Bandung kota di masa kecil
            Bandung adalah kota yang menyenangkan di saat masih kanak-kanak, semua kenangan masa kecil, tidak akan pernah saya lupakan. Saya memang lahir di Cirebon, tanggal 11 Maret 1950, namun kehidupan masa kecil, saya jalani di kota Bandung, tinggal di Jalan Pasirkaliki.   Pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak “Yayasan Beribu” saya ikuti di Jalan Dr Susilo, kemudian Sekolah Rakyat di Jalan Pajajaran, dekat Rumah Buta atau sekarang disebut Wiyata Guna dan Lapangan Olah Raga Pajajaran yang dahulu sebelumnya adalah Kuburan Belanda atau sering disebut Kerkof.
            Ayah saya adalah pengusaha toko potret, membuka usaha di bidang fotografi dengan nama Photo Studio Gamma dan CV Gamma begerak dalam usaha perdagangan umum. Dengan menggunakan kata’Gamma, saya bisa menyimpulkan bahwa ayah saya adalah orang yang suka membaca buku dan suka ilmu pengetahuan. Dan memang sepengetahuan saya, di masa ayah masih hidup, beliau suka bereksperimen dalam  proses fotografi baik kimiawi maupun teknik lainnya. Namun tak terbayangkan di kemudian hari saya akan akrab dengan dengan kata ‘Gamma’. Setelah dewasa, saya bekerja di Pusat Reaktor Atom Bandung yang banyak berhubungan dengan penggunaan sinar gamma.
            Masa kecil adalah masa yang penuh dengan aktivitas bermain dan kota Bandung pada tahun 1950-an masih memberikan kenyamanan untuk bermain  di alam terbuka. Saya dan teman-teman sering berjalan kaki dari rumah ke bukit ujung Ciumbuleuit, yang sekarang dikenal dengan nama Punclut hanya untuk mencari binatang jangkrik atau kasir.
            Suasana di jalan besar tidak terlalu ramai, cukup aman bagi pejalan kaki, cuaca tidak terlalu panas karena masih banyak pohon pohon besar. Di pinggir sepanjang jalan Pasirkaliki masih tertanam pohon-pohon kenari yang besar dan rimbun. Saya juga sering nonton bioskop di bioskop yang tiketnya cukup murah yaitu Jamika, Sahati, Karapitan, Bison dan sebagainya yang letaknya cukup jauh dari rumah namun tetap ditempuh dengan jalan kaki.
            Bersama teman-teman pergi ke sungai Cikapundung untuk berenang, menghanyutkan diri menggunakan batang pohon pisang. Sungguh menyenangkan  dan berenang di sungai Cikapundung pun tidak terlalu kotor.
            Memang masa kecil juga dipenuhi dengan segala aktivitas yang mungkin bisa dianggap tidak baik, yang tidak terpikir oleh kami sebagai anak-anak dahulu adalah salah atau melanggar hukum. Saya pernah bersama teman-teman pergi ke Kebun Binatang, atau saya menyebutnya Derenten di jalan Tamansari, masuk dengan cara menerobos kawat berduri yang berada di bagian pinggir belakang  Kebun Binatang.
            Waktu itu saya tidak punya perhatian dengan bangunan dekat Kebun Binatang, mungkin karena masih kanak-kanak. Tidak pernah punya perhatian bahwa di seberang jalan Tamansari itu adalah Institut Teknologi Bandung, perguruan tinggi yang terkenal di kota Bandung. Pada masa masa itu tidak banyak aktivitas mahasiswa yang menyolok, semuanya masih terlalu sepi.
            Namun ada satu hal yang membuat saya sekarang merenung, sadar akan takdir, bahwa ternyata kurang lebih 15 tahun kemudian, tahun 1974 saya bekerja di Pusat Reaktor Atom Bandung, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), yang letaknya tepat  bersebelahan dengan Kebun Binatang. Di tempat sekitar itu saya dan teman-teman menerobos kawat berduri untuk masuk Kebun Binatang.
            Pembangunan proyek atom dimulai  awal tahun 1960-an dan pada bulan Pebruari tahun 1965, Pusat Reaktor Atom Bandung dengan Reaktor Atom Triga Mark II buatan Amerika berdaya 250 kW diresmikan oleh presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno .  
            Tahun 1962 saya meninggalkan kota Bandung berpindah-pindah  ke kota Subang mengikuti orang tua. Di kota Subang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, SMP Negeri 1, kelas 1 sebagai siswa pindahan. Ketika duduk di bangku SMP kelas 1, saya kehilangan kasih sayang seorang ibu. Ibu meninggal pada tahun 1963 bersama bayi dalam kandungannya. Ibu mungkin seorang yang merasa kelelahan, ketika meninggal ibu sudah mempunyai anak delapan dari ayah saya dan sebelumnya sudah mempunyai anak 2 orang dari suaminya terdahulu.  Tapi ibu adalah seorang yang enerjik penuh semangat, yang saat sebelum meninggal masih harus mondar mandir Bandung–Subang untuk menyelesaikan kasus penipuan yang  menimpa usaha ibu. Ibu tertipu dalam pembelian terigu yang fiktif.
            Sejak itulah setelah ibu meninggal, kami sebagai anak-anak merasa kelimpungan harus mengurus diri sendiri bersama ayah. Ayah adalah seorang pekerja dengan keahlian fotografi, yang senang melakukan eksperimen, tapi ayah bukanlah orang yang terbiasa berurusan usaha dengan dunia luar. Sepertinya ayah adalah orang yang selalu memerlukan isteri sebagai pendamping dalam kegiatan usaha. Saat itu ayah hanya membuka usaha fotografi di rumah dan bersifat statis, tentu saja saya dan kakak sayapun belum dapat membantu karena kakak saya pun saat itu masih kelas 3 SMP.
            Saya menamatkan SMP pada tahun 1965, kemudian saya melanjutkan sekolah ke Sekolah Analis Kimia Bogor karena ayah  ingin saya menjadi orang yang tahu ilmu kimia, diharapkan suatu waktu mampu berkiprah dalam dunia material-material fotografi. Namun saya tidak dapat   menyelesaikan sekolah di Sekolah Analis Kimia karena berhubungan dengan soal biaya hidup. Saya pindah lagi sekolah di Sekolah Menengah Atas, SMA Negeri 204 Subang, hidup bersama kakak karena pada saat itu ayah sempat pernah menikah lagi dan tinggal di Tasikmalaya, namun tidak terlalu lama kemudian bercerai lagi. Sejak itu saya bersekolah secara seadanya dengan memaksakan diri sambil tetap melakukan usaha fotografi di rumah seadanya.
            Waktu telah memberikan kesempatan bagi ayah untuk mewariskan keahlian fotografi kepada anak-anaknya. Kehidupan memang sulit, berbagai situasi dialami oleh saya pribadi sampai akhirnya saya lulus SMA-nya di SMAN 25 Purwakarta  pada tahun 1969 setelah ikut bersama kerabat saya yang menjadi guru di SMAN 25 Purwakarta. Berbagai kesulitan saya jalani untuk mencari dan mempertahankan hidup, yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran sebelumnya.
            Saya kembali ke kota Bandung tahun 1971 untuk kuliah di Akademi Instrumentasi - Lembaga Instrumentasi Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tidak pernah terduga sebelumnya bahwa kehidupan akan terasa penuh keprihatinan di masa remaja. Tapi saya beruntung telah mempunyai keahlian dalam fotografi sebagai warisan dari ayah saya,  yang akhirnya mampu membiayai diri sendiri untuk menyelesaikan kuliah di Akademi Instrumentasi Nasional jurusan instrumentasi elektronika.
            Saya bekerja sebagai tenaga di kamar gelap, proses fotografi. Itu adalah takdir, namun bagaimanapun juga saya bersyukur kepada Tuhan, bahwa saya masih diberi kehidupan, masih tetap punya semangat. Kita hanyalah mahluk yang lemah, yang tiada daya tanpa hidayahNya.
Kehidupan Yang Sehat
            Ketika kita hidup lengkap bersama orang tua, tentu disayang mereka. Kebetulan pada saat saya masih kecil kehidupan orang tua berkecukupan dengan hasil usahanya. Saya cukup mendapatkan makanan yang baik, makanan yang sehat. Minum susu, makan bubur kacang hijau,  sarapan roti dengan mentega ataupun jajanan pasar sering saya dapatkan di masa kecil. Hidup terasa sulit ketika saya menginjak usia remaja karena kehilangan seorang ibu, sedangkan ayah adalah seorang yang terbiasa bekerja sendiri dengan keahliannya, tetapi kurang terbiasa berurusan dengan usaha di luar. Oleh karena itulah ayah sebenarnya membutuhkan isteri untuk mendampinginya dalam usaha.
            Saya bersyukur mempunyai keahlian dalam fotografi yang akhirnya mampu membiayai kuliah saya dan menyelesaikan kuliah. Kehidupan yang sulit menjadi berkah bagi saya untuk berpikir sehat, saya tidak terbiasa merokok ataupun minum minuman beralkohol dan sebagainya. Namun kehidupan yang sederhana tentunya terbiasa dengan makanan yang sederhana seperti tahu, tempe, ikan asin dan sebagainya.
            Tahun 1974  saya diterima bekerja di Pusat Reaktor Atom Bandung-Batan, sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang lokasinya di jalan Tamansari, tepat bersebelahan dengan  Kebun  Binatang, tempat saya dulu bermain dan masuk secara menerobos kawat berduri.
            Setelah mempunyai pekerjaan tetap, alhamdulillah kehidupan saya lebih teratur. Saya indekos di jalan Sukalaksana, Sukajadi tidak terlalu jauh dari tempat saya bekerja. Disitulah saya bertemu dengan Yani seorang wanita dari etnis Jawa, anak dari ibu tempat saya indekos dan akhirnya pada tahun 1979 saya menikah dengan Yani.  
            Takdir dari Yang Maha Kuasa saya mempunyai isteri Yani, yang namanya terkandung dalam nama saya, Didi Gayani. Bagi saya, Yani adalah anugerah yang paling berarti dalam kehidupan saya. Setelah menikahpun saya sempat menyelesaikan studi di IKIP Bandung (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung), yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia, UPI.
            Saya mengarungi kehidupan bersama Yani, suka dan duka sampai akhirnya mempunyai anak 4 orang dan alhamdulillah semuanya selesai dengan pendidikannya di perguruan tinggi. Bahkan saat hidup bersama Yani, kami sempat menikahkan 2 anak kami, anak pertama laki-laki, Dimas Adiyaat Gammayani yang bekerja di Perpustakaan Bung Karno Blitar, menikah di Sidoarjo, Jawa Timur dengan sesama pegawai negeri sipil. Dan anak kedua, Widya Arrum Gammayani, perempuan, seorang pegawai negeri sipil di Batan, sedangkan suaminya bekerja di swasta. Saat menikahkan anak kedua, saya dalam keadaan menyandang stroke.
Gambar I.1 Awal menikah
            Setelah menikahpun, alhamdulillah saya  jarang atau tidak suka merokok. Demikian juga saya tidak suka mengkonsumsi minuman beralkohol, narkoba dan sebagainya. Bagi saya hal-hal yang demikian itu bukan saja terlarang, tapi terasa tidak enak, tidak pernah sedikitpun saya ingin merusak tubuh dengan hal-hal yang demikian. Saya sadar dan  ingat bahwa sejak kita bayi, orang tua kita memberi kita makanan dan minuman yang sehat, maka mengapa kita sekarang harus merusaknya?
            Namun ada hal hal keliru yang mungkin saya lakukan dalam mengkonsumsi makanan, sebagai orang yang hidup sederhana di kala muda. Saya suka  ikan asin, tape  beras ketan, rengginang dan lain sebagainya, bahkan sangat suka.
            Hal-hal tersebut ingin saya katakan di sini karena akhirnya kelak akan berpengaruh pada kondisi kesehatan saya. Ada hal yang membuat jadi buruk tapi ada hal lain juga yang membuat saya bertahan tidak terlalu buruk.
Gambar II.2 20 tahun perkawinan

(Orang tua  memberi kita makan dengan makanan dan minuman yang sehat, janganlah  setelah dewasa kita merusaknya dengan makanan dan minuman yang tidak sehat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar