Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya bahwa semangat
dan dukungan keluarga sangatlah berarti untuk ketahanan orang yang menyandang stroke. Saya beruntung mempunyai
seorang isteri yang setia, sangat perhatian pada keluarga. Perhatian dan
kasih sayangnya sangat membekas pada diri saya. Saya selalu ingat kata-katanya
bahwa menurut dia saya sudah sembuh. Memang
benar saya sudah sembuh. Namun sekarang saya tidak mempunyai isteri, saya
merasa belahan jiwa saya sudah tiada. Tetangga saya mengatakan kepada saya,
bahwa isteri saya sudah berbahagia. Ya benar, semoga isteri saya sudah
berbahagia, tetapi saya merasa bahagia itu harus dengan saya. Saya ingin
melihat dia bersama saya berbahagia benrcengkrama dengan cucu-cucu. Punah harapan saya untuk berbahagia bersama isteri
saya di hari tua.
Pada
suatu hari di bulan Pebruari tahun 2011,
saya mencoba terapi ala Korea menggunakan gelombang listrik di Jalan Tubagus
Ismail. Saya tidak bisa mengatakan bahwa terapi tersebut ada pengaruh baik atau
tidak, karena memang kondisi saya sendiri saat itu sudah cukup baik dan banyak
yang saya lakukam. Selain terapi biasa seperti yang saya sebutkan sebelumnya,
saya juga meminum obat-obat dokter, vitamin dan minuman suplemen. Sepulangnya dari terapi ala Korea,
saya berjalan kaki dari jalan Tubagus Ismail ke jalan Cihampelas, kira kira
berjarak 1,2 km. Saya bermaksud untuk naik angkutan kota, angkot, menuju
Sukajadi, ke rumah mertua saya.
Sesampainya
di jalan Cihampelas saya berjalan di atas trotoar menuju tempat yang aman dan diperkenankan
untuk menghentikan angkot. Saat itu di atas trotoar ada sekumpulan pemuda
sedang mengobrol dan juga ada sepeda motor di atas trotoar tersebut. Tentu hal
itu menghalangi saya berjalan di atas trotoar, sehingga saya mencoba turun ke
jalan aspal yang kira kira 25 cm dibawah trotoar, namun terjatuh.
Jatuhnya
saya itu mungkin karena kurang konsentrasi atau emosi yang terganggu karena
kesal melihat sekumpulan orang ngobrol dengan sepeda motor di atas trotoar. Saya bangkit lagi dari jatuh dan
meneruskan jalan ke tempat dimana saya bisa menghentikan angkot, kemudian
dengan angkot saya pergi ke Sukajadi. Keesokan harinya saya merasakan berjalan
itu agak terganggu, mungkin karena akibat terjatuh itu.
Sebagai
manusia saya terkadang lalai terhadap kondisi saya. Saya sering makan Nasi
Padang yang terkenal gurih, juga Soto Ojolali yang banyak dengan segala macam daging. Saya juga tetap harus memikirkan tanggung jawab
sebagai orang tua terhadap anak anak saya. Setelah isteri saya meninggal, 2
kali saya menikahkan anak saya, anak yang ketiga dan anak yang keempat.
Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.
Ditambah
lagi saya membantu anak saya yang kedua, perempuan, walaupun sudah berkeluarga,
saya membantunya menyelesaikan pendidikan S2 di ITB. Saya ikut membantu karena selain anak saya sekantor dengan saya bahkan
seruangan, disiplin ilmu yang dipelajarinya sama dengan saya, instrumentasi
nuklir.
Setidaknya
semua yang dsebutkan di atas, tentulah membebani pikiran saya. Seiring dengan
waktu, saya merasakan kondisi fisik saya makin menurun, utamanya dalam berjalan
seperti tambah berat, kaki kananpun rasanya lebih berat. Saya bertanya kepada
dokter, apakah mungkin saya melakukan latihan fisik di rumah terlalu berat.
Dokter mengatakan, jangan melakukan latihan terlalu berat, lebih baik lakukan
pekerjaan sehari-hari. Dokterpun mengatakan mungkin kaki kanan terlalu berat
menanggung beban dalam berjalan, karena kaki kiri yang lemah.
Sejak
saat itu saya memulai lagi terapi di luar atau terkadang memanggil lagi terapis
ke rumah. Untuk terapi tangan terasa mudah tetapi untuk terapi kaki cukup sulit,
memang butuh bantuan. Sangat terasa lebih melelahkan dibanding saat stroke
pertama. Ada sedikit beda semangat saat masih ada isteri dan setelah isteri
saya meninggal. Setelah isteri meninggal, rasanya malas sekali latihan berjalan
di luar rumah. Kalau dulu sewaktu isteri saya masih ada, cukup semangat latihan
berjalan di luar, karena merasa di rumah ada yang menunggu..
Suatu
hari saya berbincang dengan senior saya senior saya, prof Rochestri. Saya
katakan bahwa saya cukup lelah menjalani stroke ini, kesedihanpun saya alami.
Sepertinya air mata saya sudah habis, tak bisa lagi menangis dalam doa. Saya menyandang stroke dan isteripun
meninggal karena sakit. Bu Rchestri berkata, “Baru kemarin saya menjenguk 6
orang yang sakit, ada tante, saudara dan keponakan. Semuanya lemah merasa putus
asa, tapi saya melihat pa Didi masih mendapatkan hidayahNya, punya semangat
untuk sembuh”. Mendengar perkataan bu Rochestri, justru saya menitikkan air
mata, terharu. Saya lupa bahwa memang seharusnya saya tetap bersyukur bahwa
saya masih mendapatkan hidayahNya, masih punya semangat.
Di
saat awal saya dikatakan mendapat stroke kali kedua, saya tetap masih bisa
jalan menggunakan tongkat. Saya masih sanggup mengikuti reuni dengan teman
teman SMA di luar kota, Cianjur. Saya tetap
melakukan terapi sendiri dan kontrol ke dokter Anam dan sekali-kali terapi di Santi Physiotherapy Clinic atau
memanggil terapis ke rumah.
Seiring
dengan waktu, anak-anak saya sudah menikah semua, punya kesibukan masing-masing
dan sayapun tidak pernah lagi kontrol ke doktor karena tidak ada yang mengantar.
Saya tetap meminum obat, sesuai dengan resep dokter sebelumnya, namun saya
membelinya secara langsung dari apotek.
Waktu
berjalan terus, saya merasakan kondisi yang lebih memburuk. Banyak sekali hal
yang saya anggap kendala, susah pipis, susah buang air besar, sepertinya juga
ada gangguan alat vital. Ibu jari tangan kiri saya terlihat sangat menekuk baik
dalam kedaan rileks ataupun sedang dalam kegiatan yang lain. Juga kelemahan sangat terasa pada lutut, saya
tidak mampu bangkit dari keadaan jongkok untuk berdiri. Jika duduk di kursi,
rasanya pantat saya kecil, tidak berdaging, serasa tidak mantap duduknya. Jika
duduk di kursi panjang, saya tidak mampu bergeser duduk tanpa bantuan tangan.
Kaki kiri kalau diangkat waktu melangkah terasa gontai.
Saya melakukan shalat dengan duduk di kursi, tidak bisa lagi ikut berjamaah dalam
shalat Jumat. Saya tidak bisa lagi untuk duduk di belakang sepeda motor dengan
naik melalui pinggir belakang sepeda motor, melainkan naik dari bagian tengah sepeda
motor dimana posisinya lebih rendah, kemudian bergeser ke belakang.
Saya
terpaksa berturut-turut tidak mampu untuk memperpanjang Surat Ijin Mengendarai sepeda
motor (SIM C), kemudian SIM A untuk
mobil. Mungkin inilah takdir yang sebenarnya secara tidak langsung saya harapkan. Saya takut dengan
kecelakaan lalu lintas terhadap saya. Saya takut terjadi kecelakaan lalu lintas
yang disebabkan oleh kesalahan saya dalam mengemudi kendaraan bermotor.
Mengenai
kondisi saya yang terasa memburuk, terapis yang datang ke rumah mengatakan
bahwa mungkin saja saya mendapat serangan stroke kecil-kecilan yang bisa saja
diakibatkan oleh pikiran yang terganggu. Mungkin saja, karena memang sebelumnya
saya harus tetap memikirkan tanggung jawab sebagai orang tua walaupun tanpa
kehadiran seorang isteri.
Terapis
mengatakan bahwa kepulihan dari stroke menunggu perbaikan syaraf di otak,
karena jaringan di otak bisa mencari jalan sendiri untuk membaik dengan
sendirinya dan dengan bantuan obat dan vitamin-vitamin. Saya bertanya, ‘Kalau
menunggu perbaikan syaraf di otak, kenapa dilakukan fisioterapi. Terapis
menjawab bahwa ibarat kita naik sepeda, walaupun kita belum lancar naik sepeda,
diperbaiki dulu bagian-bagian yang lain, seperti ban, rante dan sebagainya,
sehingga walaupun kita belum lancar mengemudi, sepedapun masih bisa melaju.
Kali
ini saya tidak berlatih bicara dengan membaca sajak, tapi saya melakukannya
membaca kitab suci Al Qur’an. Sebelumnya saya tidak bisa membaca Al Qur’an, namun
anak-anak membelikan saya, Al Qur’an yang berwarna lengkap dengan CD (Compact Disk) dan pen untuk tutorial
membaca. Selain itu anak saya mendatangkan seorang ustadz, seminggu sekali
untuk membimbing saya dalam membaca Al Qur’an, mulai dari awal membaca huruf
dan tajwid, aturan mengucapkan dan membaca.
Pada
awalnya memang susah melafalkan kata kata dalam Al Qur’an, tapi akhirnya bisa
juga. Selain memang membaca Al Qur’an itu adalah kewajiban bagi umat muslim,
membaca Al Qur’an itu bagus untuk berlatih mulut dan lidah untuk bisa melafakan
kata kata. Bagi saya sebagai penyandang stroke yang masih belajar membaca Al
Qur’an, untuk membaca dengan baik diperlukan ketenangan dalam membaca. Hal ini
juga memberikan efek yang baik, saya belajar berbicara dan bersikap lebih
tenang.
Akhirnya
pada bulan Oktober 2012 saya pensiun dari pegawai negeri, tidak menggunakan
kesempatan memperpanjang usia kerja sampai berumur 65 tahun. Saya merasa lega,
anak-anak sudah menikah semuanya dan anak saya yang kedua pun sudah menyelesaikan
pendidikan S2-nya. Pensiun dari kantor berarti juga saya tidak bisa lagi
latihan naik tangga yang ada di kantor, yang sebelumnya setiap hari kerja, saya
dipaksakan untuk naik turun tangga sampai ke tingkat 3 dimana ruangan tempat
saya kerja berada.
Kendatipun
saya sudah pensiun, hidup tanpa isteri dan anak-anak semuanya menikah, saya tetap
tidak kontrol ke dokter, kecuali jika ada teman yang kebetulan bisa mengantar.
Anak-anak punya kesibukan masing masing, tinggal di luar kota dan saya tinggal
di rumah ditemani anak saya yang kedua beserta suaminya dan anak-anaknya.
Memang
anak kedua saya juga punya rumah, masih di Bandung tapi mungkin khawatir kalau
saya tinggal di rumah sendirian maka mereka tetap tinggal bersama saya. Mereka adalah
suami isteri punya pekerjaan masing masing. Anak saya sebagai pegawai negeri
dan suaminya di swasta, mengajar. Ketika mereka bekerja, hampir tiap hari
kecuali hari Sabtu dan Minggu, anaknya yang besar di-pra-sekolah-kan di Sekolah
Alam dan yang terkecil dititpkan di tempat penitipan bayi..
Kami
pernah punya pembantu yang bekerja sejak isteri saya sakit sampai beberapa
tahun setelah isteri saya meninggal. Namun kemudian berhenti karena sudah
sepuh. Jadi sayapun sering berada di rumah sendirian dan sayapun biasa mengerjakan
pekerjaan sehari-hari seperti mncuci pakaian sendiri dan mencuci piring bekas
makan sendiri.
Beraktifitas
dan menjalani stroke di rumah
Setelah pensiun, saya tetap aktif di
media sosial, di facebook. Di dunia
maya saya tetap berkomunikasi dengan teman-teman, baik itu teman sekantor,
pensiunan atau teman-teman sesama alumni SMA bahkan dengan teman baru yang
kenal melalui facebook. Kiranya teman
teman SMA-lah yang paling senang untuk dikenang, masa remaja.
Saya juga ikut dengan sukarela mengkampanyekan Jokowi dalam pemilihan
Gubernur DKI ataupun dalam pemilihan presiden. Saya sering memberikan komentar
di media online. Dengan melihat rekam
jejak Jokowi sejak menjadi Walikota Solo, saya menganggap Jokowi adalah harapan
untuk membawa Indonesia jauh lebih baik.
Setiap
pagi secara rutin melakukan latihan menggerakkan tangan, sedangkan untuk latihan
kaki agak sulit karena memang butuh bantuan. Dalam latihan penguatan kaki, kaki
kiri dibuka selebar mungkin dan dengan sedikit ditahan saya menariknya kembali.
Demikian juga sebaliknya, kaki saya diangkat dan dengan sedikit ditahan, saya
mendorongnya ke luar.
Saya
memanggil terapis untuk datang ke rumah menerapi saya seminggu 2 kali. Awalnya
lancar tetapi seiring dengan waktu, terapis saya pun punya kesibukan tersendiri
sehingga terkadang tidak bisa memenuhi panggalan saya..
Hanya
kadang kadang ada teman yang mengajak saya berobat alternatif, namun hasilnya
tidak terasakan oleh saya. Dan terkadang saya bingung, karena ada saran, jangan
minum obat dokter. Walaupun saya tidak kontrol dokter, namun saya tetap minum
obat seperti yang dulu dalam resep dokter. Saya meminta tolong menantu saya
untuk membelikan obat secara langsung tanpa resep dokter.
Lama
berlangsung, saya mengganti obat Clopisan yang menurut dokter sebagai pengencer
darah dengan Clopidogrel yang lebih murah. Kondisi tubuh saya terkadang suatu
hari terasa nyaman tapi di lain hari terasa tidak nyaman, terasa mudah lelah
jika berbicara. Kedua kaki mudah bengkak dan terasa panas. Jika tubuh terasa
nyaman, saya terkadang berlatih berjalan menggunakan tongkat, bolak balik dari
ruang makan sampai ruang tamu, bisa 10 balikan.
Dengan
perantaraan tukang, saya memasang beberapa batang besi untuk pegangan saya di
beberapa tempat, termasuk di kamar mandi. Sayapun mengganti tempat buang air
besar yang jenis jongkok dengan yang jenis duduk, khusus di kamar mandi yang
biasa saya gunakan.
Saya
memasang pemanas air yang elektrik, karena untuk mandi saya harus menggunakan air
hangat. Kaki saya akan terkejut jika secara tiba tiba kena air dingin, sehingga
mungkin bisa terjatuh walaupun saya mandi sambil duduk di kursi plastik.
Demikian
saya jalani menyandang stroke kali kedua
lebih dari 3 tahun. Saya tetap berusaha untuk pulih, tetap berusaha untuk
mandiri, mencuci pakaian sendiri, mencuci piring bekas makan sendiri. Keinginan
melakukan pekerjaan sehari-hari itu selalu ada.
Saya
pernah pergi ke dokter gigi untuk menyabut gigi saya. Saya mempersiapkannya
dengan beberapa hari tidak memakan obat stroke, karena pengalaman saya waktu
mau operasi prostat, ada obat yang dihentikan dulu selama beberapa hari. Sampai
di dokter gigi, dokter tidak mau menyabut gigi saya karena tekanan darah saya
dianggap tinggi. Saya salah, yang boleh dihentikan sementara adalah Clopisan
dan vitamin-vitamin, jangan Amlodipine sebagai obat penurun tekanan darah
tinggi. Akhirnya minggu depannya gigi saya bisa dicabut.
Memang
saya merasakan beda suasana setelah istri saya meninggal. Sewaktu isteri saya
masih ada, rumah terurus rapi dan bersih, maklum anak-anak-pun sudah besar.
Sekarang di rumah saya bersama keluarga anak saya dan cucu saya. Sebagai
keluarga muda dengan anak dua yang masih kecil, tentulah merasa kerepotan
mengurus rumah tangga, di samping mereka pun punya kegiatan untuk mencari
penghidupannya. Dan memang sedikit berbeda orang tua sekarang dengan jaman saya
sebagai orang tua. Orang tua sekarang jarang melarang anaknya, jarang sekali
menggunakan kata “jangan” terhadap anak-anaknya. Rumah terasa tak terurus, kursi tamu rusak,
robek dan mainan anak-anak berceceran dimana-mana. Bagaimanapun juga kondisi
lingkungan terasa masuk dalam pikiran saya. Tapi saya harus bisa menerimanya,
karena begitulah kenyataanya. Tapi di sisi lain, saya terhibur bisa bermain dan
bercengkrama dengan cucu-cucu saya, memperhatikan perkembangan mereka. Sampai
sekarang cucu saya sudah 6 orang, dan insya Allah akan bertambah lagi.
Memang
terkadang saya teledor dalam melakukan sesuatu, saya cukup sering jatuh
terduduk, apakah itu di kamar mandi atau di kamar tidur. Di bulan Pebruari
2014, saat itu memang cuaca sangat ekstrim, hujan berkepanjangan. Daerah Khusus
Ibukota Jakarta mengalami banjir besar, Bandung dan sekitarnya hujan terus menerus.
Karena saya penyandang stroke maka saya kerepotan dengan cuaca dingin. Saya
lebih menyukai cuaca yang agak panas.
Suatu
hari saya menggunakan pemanas listrik. Saya duduki bantal pemanas dengan kedua
paha saya dengan listrik terpasang terus pada bantal pemanas itu. Sesudah
berapa lama saya selesai menggunakan pemanas itu, saya duduk di kursi tamu.
Saat saya memegang paha kiri saya, ternyata basah. Ternyata kulit paha sebelah
kiri saya melepuh kepanasan, sedangkan paha kanan saya yang tidak terganggu
stroke tidak melepuh. Jadi rupanya paha sebelah kiri yang terganggu stroke
tidak tahan panas. Saya obati sendiri
dengan bantuan anak saya, menggunakan salep untuk luka bakar.
Akhirnya
seminggu hasilnya tidak cukup memuaskan, saya berobat ke R S Advent, ke bagian
luka bakar. Empat kali berobat ke RS Advent ke bagian luka bakar, seminggu
sekali akhirnya hasilnya sudah cukup bagus. Tapi kulit yang bekas terbakar itu
menjadi tidak mulus, berbenjol-benjol. Kalau disentuh masih terasa sakit, hal ini berlangsung lama,
hampir 2 tahun sampai saat buku ini ditulis.
Kalau
saya sedang mau beristirahat tidur, saya perhatikan kaki kiri saya sering
sekali tiba tiba bergerak sendiri, berkejut,
sepertinya ada hubungan dengan bekas luka bakar paha kiri. Dan memang
jika bekas luka bakar itu saya pegang, kaki saya berkejut, sangat
sensitif.
Tapi
kadang dalam setiap kejadian jelek yang menimpa saya, selalu saja melihat apa
sisi lain yang patut disyukuri. Sebelumnya, di paha kiri saya ada semacam
daging lebih, kecil memanjang. Mungkin itu hal yang umum bagi orang-orang yang
berusia lanjut, nggak tahu apa penyebabnya. Saya merasa risi dengan adanya
daging lebih, kecil memancang itu, dan kalau saya sehat bermaksud akan berobat
ke dokter untuk menghilangkannya. Tapi dengan kejadian paha kiri yang terbakar
karena pemanas listrik itu, daging lebih itu hilang ikut melepuh.
Waktu
terus berlalu, kondisi saya lebih jelek dari sebelumnya sampai akhirnya saya
berjalan tidak lagi menggunakan tongkat berbatang satu melainkan menggunakan walker, alat bantu berjalan yang berbatang
kaki 4..
Orang yang
menyandang stroke butuh bantuan
Bulan
April 2015, anak saya yang bekerja sebagai PNS, yang dulu sekantor dengan saya,
memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. Dia merasa lebih baik bekerja di
rumah sehingga bisa mengurus anak-anaknya, namun tetap mempunyai usaha
berdagang kerudung dan baju muslim secara online
melalui internet.
Ada
hikmahnya, saya mempunyai kesempatan untuk bisa diantar kontrol ke dokter,
apakah oleh anak saya atau oleh menantu saya. Maka saya mulai lagi kontrol ke
dokter, dan saya memilih kontrol ke RS Advent yang lebih dekat ke rumah dengan dr.
Adelina Yasmar Alfa, Sp.S. Namun
belakangan saya tahu, ternyata dr. Anam yang kini sudah bergelar Doktor, DR,
juga praktek di RS Advent, cuma waktunya hanya pada hari hari tertentu dan jam
prakteknya juga singkat.
Syaraf kecepit
Waktu kali pertama saya diperiksa oleh dr Adelina,
saya terangkan bagaimana awalnya saya kena stroke, perkembangannya sampai
keadaan sekarang. Dr Adelina menguji respon kedua tangan dan kedua kaki saya.
Respon kaki kiri dan tangan kiri dimakluminya karena memang akibat stroke, sedangkan
tangan kanan dan kaki kanan berbeda respon, akhirnya saya disarankan uji tulang
punggung melalui MRI, Magnetic Resonance
Imaging di Rumah Sakit Santosa setelah terlebih dahulu melakukan cek darah
di Laboratorium Kesehatan, Departemen Kesehatan. Seminggu kemudian dari uji tulang punggung, dokter Adelina
mengatakan bahwa saya mengalami syaraf kecepit di tulang belakang bagian bawah.
Jadi sebenarnya bisa jadi saya mengalami syaraf kecepit itu sejak lama, tapi
saya tidak merasakan ada yang sakit pada punggung baik dari bagian atas sampai
ke bagian bawah..
Saya
tidak tahu apakah yang menyebabkan syaraf kecepit itu adalah karena saya memang
sering jatuh terduduk ataukah karena saya sering memosisikan tubuh secara tidak
benar. Saat saya mencuci pakaian, mencuci piring atau lagi pipis di pispot, posisi
tubuh itu agak membungkuk dan lutut agak menekuk karena ada perasaan takut
jatuh. Situasi tidak enak juga saya rasakan saat saya membonceng sepeda motor,
duduk di belakang dan jalannya naik. Posisi duduk itu sangat tidak enak,
membungkuk dan tubuh itu serasa tertekan, apalagi jika ada goncangan karena
jalan yang tidak rata.
Pantas
saya merasa kondisi saya sekian lama memburuk, kedua kaki terasa panas, mudah
bengkak dan telapak kaki terasa baal. Dalam suatu keadaan tertentu, kaki kiri
itu mengejang kaku dan memanjang. Telapak kaki serasa tidak mantap saat menapak
lantai. Berjalan walaupun menggunakan tongkat terasa lebih susah dan lemah,
lutut terasa lemah. Pipis sering tidak lancar padahal saya sudah menjalani
operasi prostat. Buang air besarpun susah, bisa beberapa hari tidak bisa uang
air besar.
Waktu
stroke pertama saya tidak mempunyai masalah dengan pipis ataupun buang air
besar, tetapi setelah stroke kedua.seiring dengan waktu saya merasakan susah untuk
pipis dan buang besar. Sehingga saya suka mengatur waktu untuk buang air besar,
yaitu dengan cara diawali meminum susu murni beberapa gelas dan juga minum vegeta,
agar bisa buang air besar walaupun mencret.
Saya
telah membiarkannya gejala tersebut berlangsung lama. Saya ingin mandiri dalam
melakukan segala hal yang rutin dilakukan sehari-hari, tetapi secara tidak
sadar memosisikan tubuh tidak benar karena takut jatuh. Misalnya jika saya
pipis di pispot dengan berdiri, satu tangan kanan memegang pispot dan satu
tangan memegang pegangan agar tidak jatuh, serta badan membungkuk tidak
simetris dan pipisnya lama namun sedikit. Pipisnya di malam hari, sedikit tapi
sering sehingga tidur pun terganggu.
Saya
cukup kaget saat pemeriksaan awal untuk kontrol ke dokter yang kali kesekian,
di nurse centre ada perawat
mengatakan bahwa dengan syaraf kecepit ada yang bisa membuat kelumpuhan. Saya
tidak ingin menjadi lumpuh. Insya Allah.
Latihan terasa
lebih berat
Setelah
mengetahui saya mengalami syaraf kecepit, dr Adelina menyarankan saya untuk
selalu mengguanakan korset dan dilepas jika untuk tidur. Penggunaan korset
adalah untuk menghindari perubahan bentuk dari susunan tulang belakang yang
mungkin akan memperburuk kondisi saya.
Di
samping itu, dokter menyarankan untuk terapi saraf kecepit di tulang belakang
bagian bawah menggunakan alat ultra sound, serta latihan penguatan kaki seperti dulu.
Terapi disarankan seminggu 3 kali dan kontrol dokter sebulan sekali. Dr Adelina
mewanti-wanti agar saya jangan jatuh dan tetap menggunakan walker untuk berjalan. Hal itu benar karena bila saya jatuh, akan
sulit kembali bangkit tanpa dibantu oleh orang lain. Tapi kondisi keuangan yang
terbatas, terkadang saya hanya melakukan terapi di luar seminggu 2 kali, tetapi
di rumah saya tetap latihan sendiri. Dan
dokter pun menambah obat-obat yang harus saya minum.
Walaupun
saya mempunyai asuransi kesehatan sebagai pensiunan PNS, saya tidak
menggunakannya, berhubung saya tidak bisa menunggu terlalu lama menunggu
berobat, karena biasanya pasen peserta BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan) banyak sekali.
Demikian juga obat-obatan saya beli di apotik dengan resep dokter. Beruntung
saya sebagai pensiunan PNS mempunyai uang pensiun tiap bulan dan juga saya
sudah tidak punya tanggungan keluarga, Semua anak saya sudah berkeluarga.
Tetapi
dasar memang usia sudah lanjut, sesudah 2 bulan saya berobat timbul masalah
baru, telinga saya berdenging terus, sangat terasa di pagi hari sesudah bangun
tidur. Awalnya pada malam hari saat saya terbangun, mendengar seperti suara
berdenging, kemudian saya membangunkan anak dan menantu saya untuk memeriksa
apakah ada gas untuk kompor yang bocor. Namun anak dan menantu tak mendengar
suara apapun. Dan pada pagi harinya saya bangun tidur ternyata suara berdenging
itu tetap ada, jadi rupanya pendengaran saya yang bemasalah. Sayapun berobat ke
dokter THT, telinga dibersihkan, tetapi berdengingnya telinga itu masih tetap ada.
Saya
merasakan berdenging telinga itu mengganggu keseimbangan saya. Biasanya jika bangun tidur saya bisa berdiri langsung,
sekarang untuk berdiri saya harus duduk dulu di kasur sejenak. Dokter
mengatakan itu gangguan syaraf yang bisa juga karena hipertensi.
Akhirnya
dokter menyarankan untuk melakukan uji pendengaran dan kesimpulannya saya harus
menggunakan alat bantu pendengaran. Diterangkan bahwa alat bantu pendengaran
bisa mencegah kualitas pendengaran menurun dan merangsang syaraf telinga untuk
bisa pulih,
Mengapa menulis
buku
Buku
ini saya tulis sebagai ungkapan terimakasih, mengenang kasih sayang, perhatian,
pengorbanan yang tulus ikhlas dari almarhumah isteri saya dalam menyertai
perawatan saya, sembuh dari stroke pertama.
Awalnya
adalah saran dari terapis di Rehabilitasi Medik RSHS, pak Kurniawan yang
melihat kemajuan pulihnya saya dari stroke pertama dan semangat untuk sembuh
pada diri saya. Isteri saya membantu membuat catatan tentang kemajuan saya
untuk sembuh dari stroke pertama.
Namun
ketika saya mendapat stroke kali kedua dan istri sayapun telah tiada, semangat menulis buku itu agak memudar, saya
merasa gagal sembuh. Kemudian setelah saya tahu bahwa saya mengalami syaraf
kecepit di tulang belakang bagian bawah, saya kembali melanjutkan menulis buku.
Keinginan berbagi pengalaman tentang bagaimana saya menyandang stroke,
bersemangat untuk sembuh dari stroke pertama dengan peran keluarga yang
mendukung. Bagaimana saya teledornya sehingga mendapatkan stroke kali kedua dan
juga syaraf kecepit.
Saya
tetap bersemangat untuk sembuh, walaupun latihannya sangat terasa lebih berat,
kaki lebih kaku. Target akhir dari latihan terapi, saya ingin kedua lutut saya
kuat, mampu berdiri dari keadaan jongkok. Bisa mengangkat kaki, mengayunkan kaki hanya dengan
otot kaki, bukan dengan otot pantat atau badan dan keseimbangan dalam berdiri
harus lebih baik lagi. Saya berpacu dengan waktu, di satu sisi ingin kuat tapi
di sisi lain, usia yang bertambah tua, yang fitrahnya adalah melemah dalam
kekuatan. Saya harus sabar merasakan perkembangan kemajuan yang lambat, namun saya
tetap akan berusaha.
Saya
mengenang bagaimana dulu isteri saya dapat mengantar kesembuhan dari stroke
pertama. Bagaimana kehadiran seorang isteri dapat memberikan semangat, melayani
keluarga, memberikan ketenangan bagi
suami yang menyandang stroke walaupun sang isteri sebenarnya sedang sakit. Bagaimana rumah bisa terurus,
bersih, rapih oleh kehadiran seorang isteri yang tidak terpungkiri membawa
pengaruh pada kesembuhan saya dari sakit stroke. Ada penyesalan pada diri saya,
tidak bisa ikut menjaga kesehatan istri saya, walaupun benar semuanya adalah
takdir.
Saya
bahagia punya kesempatan melihat cucu-cucu saya, bercengkrama dengan cucu-cucu,
tapi terasa ada yang kurang karena isteri saya tidak bersama saya, bercengkrama
dengan cucu-cucunya. Dia yang melahirkan anak-anaknya, sepatutnya ia bisa
melihat, bercengkrama dengan cucu-cucunya. Tapi takdir berkehendak lain. Semoga
ia bahagia di alam lain, diampuni segala
dosanya, diterima amal baiknya, diterima iman Islamnya dan ditempatkan di
tempat yang layak dalam pandangan Allah SWT.
Saya
ingin para cucu saya membaca tulisan ini, saya ingin mereka tahu bahwa kakek
menyintai neneknya, saya ingin mereka tahu, begitulah neneknya, memberikan perhatian,
kasih sayang, melayani dengan keikhlasan terhadap keluarganya. Mereka ada
karena neneknya pernah ada. Semoga mereka menjadi orang-orang yang baik,
berguna bagi sesamanya dan menjaga keluarganya, selamat dalam lindungan Allah
SWT.
Dan
saya menganggap kehidupan saya sebagai penyandang stroke dengan segala
problemanya adalah kehidupan kedua, the
second life.
(Sabar dan
tawakal namun tetap semangat, menghindari takdir menuju takdir yang lebih baik)
Tetap sumanget! Sumanget tetap!
BalasHapusAbah Abah Abah ...
Hapus