Selamat Datang

Terimakasih anda mengunjungi blog saya.

Sabtu, 24 Oktober 2015

The second life 3



III.     Ketika Stroke Datang
   Seperti telah disebutkan sebelumnya saya memang mengidap hipertensi, utamanya ketika usia sudah menginjak 50 tahun. Tekanan darah tinggi sudah biasa bagi saya, obat-obatan penurun tekanan darah tinggi seperti captopril dan lain lain sebagainya sering dokter berikan kepada saya.           Kalau dokter bertanya kepada saya apakah saya merasa pusing, saya sulit menjawabnya karena rasa pusing sudah biasa dan tidak pernah saya sadari apakah itu pusing karena tekanan darah tinggi atau hanya pusing karena masalah lain dalam kehidupan sehari-hari.  Sungguh hal yang konyol dalam memperhatikan kesehatan diri sendiri, tidak bisa membedakan pusing karena tekanan darah tinggi dan pusing karena hal lain.
Malas Berobat
Waktu itu bulan Oktober tahun 2008, kebetulan di rumah ada masalah yaitu air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak mengalir ke rumah selama beberapa hari. Ini masalah bagi kami sekeluarga karena kami tidak punya air cadangan baik sumur pompa ataupun bak penampungan. Rumah kami di jalan Hegarmanah berada di daerah tinggi sehingga jika ingin membuat sumur pompa akan sangat terlalu dalam dan mahal.
Mengatasi masalah tidak ada air di rumah, saya terpaksa dengan anak saya yang perempuan atau kadang dengan isteri saya pergi ke rumah mertua saya untuk mengambil air menggunakan beberapa jerigen  plastik kecil bekas wadah minyak goreng kemasan 5 liter. Berulang-ulang saya pulang pergi mengambil air terkadang di waktu setelah subuh atau di sore hari. Berhari-hari saya melakukannya karena memang masalah air itu pernah 5 hari berturut-turut tidak mengalir. Pengaduan demi pengaduan kepada pihak PDAM pernah dilakukan namun memang masalah teknis yang tengah ditangani, perbaikan pipa dan longsor di daerah hulu yang jadi alasannya.
Kegiatan saya di kantor jalan terus tidak terganggu walaupun ada masalah di rumah dan makan siang di kantin kantor atau terkadang membawa bekal dari rumah. Hanya saja jika kebetulan tidak ada air di rumah, saya suka ikut mandi di kantor. Suatu hari memang saya ingin makan ikan teri karena membayangkan nikmatnya makan nasi hangat dan ikan teri. Sebenarnya isteri saya sering melarang saya makan teri dan ikan asin sejenisnya karena tahu bahwa saya mengidap tekanan darah tinggi. Pada hari sebelumnya saya mencium bau ikan asin yang digoreng, dan ternyata isteri saya sedang menggoreng ikan peda. Namun saya tidak melihat goreng ikan peda di meja makan, ternyata isteri saya menyembunyikannya agar saya tidak memakannya.
Besoknya di hari Minggu saya memaksakan diri pergi ke pasar Sederhana untuk belanja bahan makanan yang saya suka seperti tempe, tahu, bakso dan termasuk ikan teri Medan yang tidak asin menurut si pedagangnya. Sampai di rumah saya minta isteri saya menggoreng ikan teri Medan untuk makan saya. Memang nikmat makan nasi hangat dengan tahu, tempe ditambah teri Medan, yang ternyata teri Medannya cukup asin.  Kurang lebih 2 hari saya makan dengan teri Medan termasuk hari Senin sebagai bekal makan siang di kantor.
Hari Selasa seperti biasa saya bekerja di kantor, tapi hari itu saya tidak membawa bekal makan siang di kantor. Saya mengajak teman saya makan siang di warteg dekat kantor. Kembali ke kantor bekerja seperti biasa dan selepas shalat ashar saya mengadakan kontak dengan teman saya via hand-phone karena ada sesuatu hal yang akan dibicarakan.
Setelah selesai bicara dengan teman, saya merasakan pusing yang cukup berbeda dengan pusing biasanya, tapi saya enggan ke dokter kantor karena sudah hampir jam waktu pulang dan saya tidak ingin mengganggu dokter di saat jam pulang. Saking pusingnya saya keluar dari ruangan untuk pulang cukup gontai dan teman saya yang berpapasan dengan saya dapat  menduganya bahwa saya sakit.
Saya tidak berani pulang mengemudikan motor sendiri. Saya minta anak saya yang memang sekantor, Widya untuk mengemudikan motor dan saya memboncengnya di belakang. Sampai di rumah isteri saya tahu pasti saya sakit karena tidak biasanya saya membonceng anak saya dan menyarankan saya ke dokter. Saya tidak mau, malah saya bergurau dengan berjalan seperti orang yang menyandang sakit stroke. Waktu itu saya katakan bahwa saya tidak bisa mengambil air ke ibu mertua dan meminta isteri saya dan anak saya, untuk mengambil air.
Saya ingin istirahat tidur setelah minum obat penurun darah tinggi, captopril. Isteri dan anak saya, Widya, pergi ke rumah orangtua-nya untuk mengambil air dan saya tetap tiduran dengan pusing yang tidak hilang. Belum lama isteri saya sampai di rumah mertua, saya menelpon dia untuk  segera pulang tidak usah mengambil air, saya minta untuk kerokan. Saya merasa pusing dan saya menduga masuk angin.
Badan saya dikerokan oleh isteri saya, dan badan saya merah-merah karena kerokan sebagai tanda masuk angin namun pusing masih juga tidak hilang. Waktu itu saya masih sempat bisa ke kamar mandi dan pindah ke tempat tidur di ruang kerja saya yang lebih dekat ke kamar mandi. Saya memang punya ruangan khusus tempat kerja yang juga dilengkapi dengan tempat untuk tiduran.
Saya tetap tiduran dengan rasa pusing tidak hilang, kemudian terasa semutan disertai muntah-muntah. Saya tanya isteri saya, apakah ini gejala stroke dan isteri saya menjawab tidak tahu. Terakhir saya baru tahu, ternyata pusing, muntah dan semutan adalah tiga pertama dari gejala serangan stroke. Muntah terus berlangsung sampai perut saya terasa sakit dan saya tetap tidak mau ke dokter.
Kejadian terus berlangsung sampai malam dan isteri saya dengan anak saya terkecil tidak bisa tidur dan tetap menjaga saya. Betapa setianya isteri dan anak saya, menunggui saya. Saya tidak sadar bahwa sebenarnya mereka mengharapkan saya ke rumah sakit namun saya terlalu tolol bersikeras tidak ingin ke rumah sakit. 
Kira-kira jam 2.30 dini hari saya ingin pergi ke kamar mandi, saya minta diantar  oleh isteri dan anak saya. Saat itu baru saya sadar bahwa saya tidak bisa berdiri, saat itulah saya berteriak sambil memejamkan mata menahan pusing, “rumah sakit!”, maksudnya saya minta dibawa ke rumah sakit. Isteri saya langsung telpon taksi BlueBird, beruntung sekali taksi cepat datang. Saya dibopong dari kamar ke mobil taksi oleh beberapa orang termasuk sopir taksi. Isteri saya bertanya, mau dibawa ke rumah sakit mana, RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) atau Rumah Sakit Advent, saya langsung berteriak sambil tetap memejamkan mata, “Advent”, artinya minta dibawa ke Rumah Sakit Advent, Saya memilih Rumah Sakit Advent, karena pengalaman menunjukkan biasanya rumah sakit swasta tertentu pelayanannya lebih baik, lebih tanggap, keluarga pasen tidak direpotkan dengan segala prosedur penangan pasen.
Akhirnya Datang Juga
            Setibanya di rumah sakit, saya tetap sadar tapi  sejak dari rumah saya terus memejamkan mata menahan rasa pusing. Saya masih sempat menginstruksikan kepada anggota keluarga yang mengantar saya untuk membayar ongkos taksi dilebihkan sebagai ungkapan rasa terima kasih saya.
            Sambil tetap memejamkan mata saya ditangani entah oleh dokter atau perawat. Saya jawab setiap pertanyaan dengan tetap memejamkan mata, saya persilahkan setiap tindakan perawat yang meminta ijin atau memberi tahu tindakan apa yang akan dilakukan terhadap saya seperti memasang infus dan memasang kateter untuk pipis. Terdengar pembicaraan perawat ketika mengukur tekanan darah saya, menyebutkan 185. Sebelumnya saya tidak pernah mengalami tekanan darah setinggi itu, padahal sebelumnya saya meminum obat penurun tekanan darah tinggi yang biasa dokter berikan, captopril dua butir pada sore harinya.
            Saya mengiyakan ketika perawat akan membawa saya ke tempat CT-Scan (Computerized Tomography Scanner) dan saya tetap memejamkan mata. Saya memahami fungsi instrumen dan ketika terasa saya masuk ke dalam ruang pendeteksian CT Scan, saya tetap memejamkan mata sambil berusaha tetap tidak bergerak agar tidak mengganggu hasil pencitraan CT-Scan. Sesudah dilakukan CT-Scan saya dibawa ke ruangan.
            Di tengah perjalanan saya ingin muntah dan sambil tetap memejamkan mata saya berteriak minta kantong plastik untuk muntah. Si perawat menyuruh muntah saja tanpa harus menggunakan kantong plastik, namun saya tetap menolak. Saya tidak pernah ingin muntah sembarangan  dan beruntung isteri saya waktu itu membawa kantong plastik, berjalan di belakang mengantarkan saya. Ia selalu mempersiapkan segalanya, termasuk pakaian untuk ganti. Setelah itu saya tak ingat apa yang terjadi karena tertidur sampai pagi tiba.
            Pagi hari saya terbangun, melihat sekeliling, ada isteri dan anak saya, serta kerabat saya, jarum infus terpasang di tangan saya. Saya tetap ingat mereka dan tersenyum memandang mereka namun saya tersadarkan ternyata badan saya termasuk tangan dan kaki bagian kiri, lemah tak berdaya, tidak bisa bergerak dan terasa baal.
            Saya sedih namun tetap tersenyum dan saya masih bisa melihat, mengingat dan mengenal orang. Saya tetap masih bersyukur ketika saya masih hidup, ketika saya masih bisa melihat, ketika saya masih bisa mengenal istri dan anak saya. Isteri dan anak terkecil dengan setia menemani saya yang terbaring di rumah sakit.
            Padahal sebenarnya pada hari itu, isteri saya yang harus pergi ke dokter untuk cek kesehatan karena kondisinya kurang sehat. Tetapi karena melihat kondisi saya yang sakit maka ia merasa sehat, memaksakan diri merasa sehat.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0juimlCMXRTvxoEzEXdQMOYDY5UXlQ3tYmQeNzfsjxnAN5kcue95IJNMqqBExJ3VjxKLmM2VGuoCRHQqMK5iRHvIRpReLboKkpTwijEWYP6cVmDT6Ws9m67ytyMvgQ7yk3wKOmFZqhn7W/s1600/Iudaka9.jpg
Gambar III.1 Sakit stroke pertama
Dirawat di Rumah Sakit Advent
            Selama saya dirawat di Rumah Sakit Advent, saya tetap selalu gembira penuh canda. Banyak kerabat dan teman-teman kantor yang menengok, mereka menghibur dan saya tetap selalu gembira. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada dokter dan para perawat Rumah Sakit Advent baik senior maupun yunior yang telah begitu ramah merawat saya.
            Mereka memberi semangat secara profesional, ada  juga yang memberikan contoh keluarganya yang mengalami stroke. Malah dokter menyarankan saya untuk berhenti makan daging, “sudahlah berhenti makan daging”, katanya. Saya menceritakan ini, karena terakhir, lama waktu berlalu, saya mendengar dari terapis Advent bahwa dokter yang merawat saya itu mendapat serangan stroke juga. Sungguh mereka sangat baik, tidak percuma lencana yang bertuliskan “Smile” terpasang di baju seragamnya. 

            Saya hanya merasa risi jika saya mau berurusan dengan toilet, buang air besar manakala saya lemah tak berdaya. Sungguh saya merasa tersiksa jika harus berurusan dengan buang air besar. Hal inilah yang selalu membuat saya ingin cepat keluar rumah sakit, pulang ke rumah. Saya yang selalu ingin mandiri, ternyata harus ditolong melakukan hal hal yang sebenarnya tidak ingin diketahui orang lain, seperti buang air besar.
            Saya ingat ketika seorang ibu pembersih lantai melihat saya  bersenda gurau dengan anak dan isteri saya, dia berkata sambil tersenyum kepada saya, “gembira adalah obat yang paling baik”. Seorang perawatpun pernah mengatakan kepada saya bahwa saya selalu gembira dan tersenyum sehingga perawatpun senang melayaninya. Ketika dokter dengan suster kepala datang untuk mengecek kondisi saya, dari mulai masuk kamar, perawat memberitahu saya :”Pak Didi, dokter datang“, sungguh saya merasa mendapat pelayanan yang baik. Pernah juga suatu hari seorang perawat lain bertanya kepada saya dengan ramahnya : “Bagaimana kabar si opa sekarang?”. Saya jawab, “Baik, tapi jangan panggil saya opa”. “Mengapa?”, kembali perawat bertanya. Saya jawab, “Saya belum punya cucu, panggil saya aa, artinya aki-aki”. Saya pun tertawa demikian juga si perawat.
            Saya merasa terhibur walaupun saat itu saya masih menunggu hasil dari CT-Scan. Dan alhamdulillah hasil dari CT-Scan menunjukkan bahwa saya hanya mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak, bukan perdarahan di otak. Perdarahan di otak akan memerlukan operasi di kepala Dan alhamdulillah  hasil cek darah saya, semuanya baik. Itu mungkin karena saya terbiasa tidak merokok, tidak meminum minuman yang beralkohol, juga narkoba.
            Dua belas hari saya dirawat di rumah sakit menghabiskan biaya secara keseluruhan cukup besar menurut ukuran saya, namun saya tetap semangat. Pada  waktu itu Rumah Sakit Advent belum menerima pasen dengan asuransi Askes (Asuransi kesehatan). Sungguh, yang perlu tetap kita pelihara adalah semangat dan dukungan keluarga.
            Di rumah sakit saya sempat melakukan terapi, belajar menggerakkan tangan dan kaki sambil tetap berbaring di tempat tidur. Tangan dan kaki saya belajar bergerak dengan dibantu terapis, 2 kali sehari, pagi dan sore  selama tiga hari terakhir berturut-turut menjelang kepulangan saya dari rumah sakit. Saya memang masih merasa kesulitan untuk menggerakan kaki dan tangan sebelah kiri.
            Pada hari-hari terakhir saya di rumah sakit, saya meminta perawatan ditambah dengan dokter ahli syaraf karena saya berpikir lumpuhnya bagian anggota badan adalah karena stroke  dan berhubungan dengan syaraf. Dokter Walean yang pertama merawat saya mengijinkan dan memberikan dokter Paulus Anam Ong,Sp.S sebagai  dokter ahli syaraf untuk merawat saya.   
            Dokter Anam sangat baik, ramah dan penuh canda, pada saat pertama memeriksa saya, beliau bertanya “mengapa ingin dirawat oleh dokter syaraf?”. Saya menjawab seperti awal maksud saya, karena lumpuh akibat stroke adalah berhubungan dengan syaraf.  Dokter Anam juga setengah bercanda mengatakan kepada saya, jangan terlalu lama di rumah sakit nanti bisa bangkrut. Saya tertawa mendengarnya dan itu memang benar bagi saya yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil.         
            Dokter Anam juga menganjurkan agar saya memanfaatkan keikutsertaan Askes yang bisa saya gunakan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, baik untuk mendapatkan obat ataupun melakukan terapi. Tapi untuk kontrol dokter, di klinik spesialis swasta yang tidak terlalu banyak pasen. Untuk obat yang diperlukan bisa menggunakan Askes dengan disposisi dari dokter di bagian penyakit syaraf,  sesuai aturannya.
            Jika kontrol dokter sebagai peserta Askes, pasennya terlalu  banyak sehingga bisa membuat kesal menunggu bagi penyandang stroke dan kemungkinan malah bisa berakibat buruk pada pasen itu sendiri.  Memang dr Anam adalah dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin yang bekerja juga sebagai dokter di Rumah Sakit Advent.
            Saya  baru diijinkan pulang oleh dokter setelah saya mampu duduk dengan tidak merasa pusing, dan saya diharuskan menggunakan kursi  roda. Sekali lagi saya ungkapkan, pelayanan perawat yang ramah, dukungan perawat yang profesional dan nasihat dokter adalah sangat membantu dalam membangun semangat pasen untuk pulih dari sakit, apapun itu termasuk stroke.       
Saya pernah mendengar cerita bahwa seorang yang menderita stroke pembawaannya itu unik, ada yang membuat si penderita itu gampang menangis atau ada juga yang jadi gampang tertawa. Mungkin saya termasuk yang gampang tertawa saja. Pernah saya bermaksud untuk berbicara dengan bercanda, susahnya minta ampun. Berbicaranya tidak tuntas karena terus terganggu oleh tertawa sendiri. 
 Di rumah istirahat selama sebulan
            Di rumah saya menggunakan kursi roda pinjaman dari kerabat, setiap saat saya berlatih seperti yang diajarkan terapis di rumah sakit, menggerak-gerakan tangan kiri yang sakit dengan bantuan tangan kanan yang sehat. Saya beruntung keluarga sangat membantu, terutama isteri dan anak-anak saya.

            Berbagai usaha untuk memudahkan saya beraktifitas sehari-hari disediakan. Untuk mandi secara darurat disediakan baskom besar berisi air hangat, waslap dan handuk. Untuk pipis secara darurat disediakan pispot plastik yang mudah dipegang. Kursi duduk kayu dimodifikasi, bagian tengahnya dilubangi dan ember berisi air disimpan di bawahnya agar saya bisa melakukan buang air besar secara darurat di kamar tidur.
            Sebenarnya saya tidak bisa buang air besar secara darurat di kamar tidur. Untuk memaksakan bisa buang air besar, saya menutup kamar dan mematikan lampu kamar tidur sehingga terasa sepi. Istri saya tahu keinginan dan kebiasaan saya, dan jika selesai buang air besar, ia yang membuang kotoran di ember ke kamar mandi/wc.
            Walaupun sakit saya tetap saja suka bercanda. Pernah setelah saya selesai buang air besar, saya keluar kamar dan berkata kepada istri saya bahwa saya nggak bisa buang air besar, cuma sedikit. Maka istri saya masuk ke kamar untuk membuang kotoran di ember dan menyalakan lampu di kamar. Begitu menyalakan lampu kamar ia berteriak setengah memaki saya karena melihat di ember ternyata kotorannya banyak. Istri saya keluar kamar sambil menutup hidung dan membawa ember berisi kotoran ke kamar mandi. Saya cuma tertawa.


            Satu bulan saya diberi ijin cuti  kerja oleh dokter dan selama satu bulan itu saya melakukan terapi 1 minggu 3  kali dengan seorang terapis dari Rumah  Sakit  Advent. Kemudian untuk bulan berikutnya terapi dilakukan 1 minggu 2 kali.  Dari kondisi anggota badan sebelah kiri lemah saat pulang dari  rumah sakit,  lama lama berubah menjadi agak kuat namun kaku.
           Pada awalnya terapi yang dilakukan adalah pasif, artinya  saya hanya berbaring dan terapisnya menggerakkan tangan dan kaki saya ke arah yang seharusnya orang normal dapat lakukan. Kemudian saya belajar menggerakan tangan dan kali, didahului dengan peregangan agar otot tidak terlalu tegang. Setahap demi setahap gerakannya saya ikuti semampu saya. Saya amati ternyata gerakan gerakan halus seperti yang biasa dilakukan oleh jari tangan ataupun kaki ternyata amat sulit dilakukan, diperlukan kesabaran untuk melatihnya. 
            Jika misalnya kita membuka atau menutup telapak tangan, sulit sekali ke lima jari itu menutup dan membuka secara berbarengan, selalu saja ada jari yang ketinggalan. Demikian  juga reflek gerakan tangan atas respon kejutan sangat sulit dikontrolnya. Jika misalnya tangan itu dipukul maka dengan spontan tanpa bisa terkontrol tangan akan tertarik ke dalam.
            Saya juga mengikuti anjuran dr Anam untuk melakukan terapi okupasi atau keterampilan tangan di bagian Rehabilitasi Medik di RSHS, seminggu sekali.  Juga secara rutin sebulan  sekali  saya melakukan kontrol kesehatan saya di Klinik Spesialis RSHS dengan dokter Anam dan untuk mendapatkan obat melalui fasilitas Askes dengan mengikuti prosedurnya..
   Obat yang saya minum adalah obat-obat  yang disarankan dokter, didapat dengan fasilitas Askes, seperti Amlodipne, Clopisan dan vitamin-vitamin. Namun kelak bila sudah berselang lebih dari setahun, obat yang harganya mahal seperti Clopisan tidak bisa lagi didapat dengan menggunakan Askes.
   Selain obat dari resep dokter yang saya minum, ada juga minuman suplemen yang saya minum, yaitu jus mengkudu, Tahitian Noni Juice dan juga air Oxy. Saya tidak bisa menyebutkan apakah minuman tersebut sangat berpengaruh atau tidak pada pemulihan dari stroke. Yang jelas dengan meminum air Oxy, saya dipaksakan minum air  cukup banyak dan itu sangat bagus untuk tubuh yang banyak minum obat. Meminum Tahitian Noni Juice pun cukup enak, ada perasaan menambah segar.
   Namun hal yang sempat  saya amati adalah pengaruh yang baik ke kulit wajah saya. Sebelum saya meminum Tahitian Noni Juice, ada semacam kutil di bawah mata sebelah kiri dan flek hitam besar di pipi kiri saya, seperti pada umumnya orang yang sudah tua. Tetapi setelah saya meminum Tahitian Noni Juice selama beberapa bulan atau kira kira menghabiskan 4 botol kemasan 1 liter, wajah saya cukup bersih. Semacam kutil di bawah mata bisa hilang dengan cara berangsur-angsur digosok  dan flek hitam di pipi juga hilang dengan sendirinya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgw44AoBj9fVpVhQw-Z0wEP-0H8MhetJzU4JwUSSwZ6R0FDptPaCgdJvxP8mWws4TIhZAT8hjdi1AMP0KJ6iL8VTvBsj4lPRang0APu0PuFCAW-m4ij_TI2Lvsihd5TQp_BcC41HLbag9do/s1600/titian1Rev.jpg 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCiqMziLf4cTLEFjqdRWLtV3whaDo8fx0NlafE-46vXKrqoJu8sePRmJa7KtjVA7JE1x1dckjluHIVjv_xqNe49pTP-DndX4ozLk4Rak8tRVeTPJOngsoBBSbO9Dhb68uiHIYGedcvt7lk/s1600/titian2rev.jpg
Gambar III.2 Diterapi oleh terapis dari R S Advent


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLB960IpySpQlWzI9CRJm7fxa9rFu62sg8c5UIV6vc3WekmRYGMvE_eFZCM452hRw3C_Bxkgh4MMbsIxjNYhnCoJhmjBBtTB9f5VfDyZnayqlr-lZdICrPy1S88WPcWUL3DOZkbY_9N0x-/s1600/terpiyani.jpg

  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhO_PNzaCjsRlO-Qbd96mEkQ9TyJMGsj15uS72Hz00AOCmNarBumuJln5EPx_JC8aVv3BDepSr_arZAOUo6H45o1UKa8xlVhCSspMu9idq20vy9ISqpGs2Ap0ExAnl5QpQh0xaNghD7YbFO/s1600/mamah+nerapi+4.jpg
 Gambar IIII.3 Isteri saya  ikut menerapi

   Beruntung keluarga di rumah dapat menerima kenyataan bahwa saya sakit stroke dan mereka sangat mendukung sekali kepulihan saya, mereka dengan sabar dan ikhlas membantu saya. Isteri dan anak saya sering mengantar saya untuk kontrol kesehatan ke dokter Anam di klinik spesialis dan mengurus resep dokter yang harus disalin terlebih dahulu di Bagian Syaraf  agar bisa menggunakan Askes. Sedangkan untuk mengambil obatnya di apotek RSHS dilakukan pada keesokan harinya, karena hari sudah terlalu siang.
   Di sini saya ingin mengatakan bahwa rumah yang baik dengan keluarga yang baik, termasuk isteri/suami dan anak-anak yang sabar, mengerti dan mendukung adalah tempat perawatan yang baik.

(Dukungan keluarga, kesabaran  dan tetap semangat membantu kesembuhan penderita stroke)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar