III. Ketika Stroke
Datang
Seperti telah disebutkan sebelumnya saya memang mengidap hipertensi,
utamanya ketika usia sudah menginjak 50 tahun. Tekanan darah tinggi sudah biasa bagi saya, obat-obatan
penurun tekanan darah tinggi seperti captopril dan lain lain sebagainya sering
dokter berikan kepada saya. Kalau dokter bertanya kepada saya
apakah saya merasa pusing, saya sulit menjawabnya karena rasa pusing sudah
biasa dan tidak pernah saya sadari apakah itu pusing karena tekanan darah
tinggi atau hanya pusing karena masalah lain dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh hal yang konyol dalam memperhatikan
kesehatan diri sendiri, tidak bisa membedakan pusing karena tekanan darah
tinggi dan pusing karena hal lain.
Malas Berobat
Waktu itu bulan Oktober tahun 2008,
kebetulan di rumah ada masalah yaitu air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak mengalir ke rumah selama
beberapa hari.
Ini masalah bagi kami sekeluarga karena kami tidak punya air cadangan baik sumur
pompa ataupun bak penampungan. Rumah kami di jalan Hegarmanah berada di daerah tinggi sehingga jika ingin membuat sumur
pompa akan sangat terlalu dalam dan mahal.
Mengatasi masalah tidak ada air di
rumah, saya terpaksa dengan anak saya yang
perempuan atau kadang dengan isteri saya pergi ke rumah mertua saya untuk mengambil air
menggunakan beberapa jerigen plastik kecil bekas wadah minyak goreng kemasan 5
liter.
Berulang-ulang saya pulang pergi mengambil air terkadang di waktu setelah subuh atau
di sore hari. Berhari-hari
saya melakukannya karena memang masalah air itu pernah 5 hari berturut-turut tidak mengalir.
Pengaduan demi pengaduan kepada pihak PDAM pernah dilakukan namun memang
masalah teknis yang tengah ditangani, perbaikan pipa dan longsor di daerah hulu
yang jadi alasannya.
Kegiatan saya di kantor jalan terus tidak
terganggu walaupun ada masalah di rumah dan makan siang di kantin kantor atau terkadang membawa bekal dari rumah. Hanya saja jika
kebetulan tidak ada air di rumah, saya suka ikut mandi di kantor. Suatu hari memang saya ingin makan
ikan teri karena membayangkan nikmatnya makan nasi hangat dan ikan teri.
Sebenarnya isteri saya sering melarang saya makan teri dan ikan asin sejenisnya
karena tahu bahwa saya mengidap tekanan darah tinggi. Pada hari sebelumnya saya mencium bau ikan asin yang digoreng,
dan ternyata isteri
saya sedang menggoreng ikan peda. Namun saya tidak melihat goreng ikan peda di meja makan, ternyata isteri saya
menyembunyikannya agar saya tidak memakannya.
Besoknya di hari Minggu saya memaksakan diri pergi ke pasar Sederhana untuk
belanja bahan makanan yang saya suka seperti tempe, tahu, bakso dan termasuk
ikan teri Medan yang tidak asin menurut si pedagangnya. Sampai di rumah saya
minta isteri saya menggoreng ikan teri Medan untuk makan saya. Memang nikmat makan nasi hangat dengan tahu,
tempe ditambah teri Medan, yang ternyata teri Medannya cukup asin.
Kurang lebih 2 hari saya makan dengan teri Medan termasuk hari Senin sebagai bekal makan siang di kantor.
Hari Selasa seperti biasa saya
bekerja di kantor, tapi hari itu saya tidak membawa bekal makan siang di
kantor. Saya mengajak teman saya makan siang di warteg dekat kantor. Kembali ke
kantor bekerja seperti biasa dan selepas shalat ashar saya mengadakan kontak dengan teman saya
via hand-phone karena ada sesuatu hal yang akan dibicarakan.
Setelah selesai bicara dengan teman, saya
merasakan pusing yang cukup berbeda dengan pusing biasanya, tapi saya enggan ke
dokter kantor karena sudah
hampir jam waktu pulang dan saya tidak ingin mengganggu dokter di saat jam
pulang.
Saking pusingnya saya keluar dari ruangan untuk pulang cukup gontai dan teman saya yang
berpapasan dengan saya dapat menduganya
bahwa saya sakit.
Saya tidak berani pulang
mengemudikan motor sendiri. Saya minta anak saya yang memang sekantor, Widya untuk mengemudikan motor dan
saya memboncengnya di belakang. Sampai di rumah isteri saya tahu pasti saya sakit karena
tidak biasanya saya membonceng anak saya dan menyarankan saya ke
dokter. Saya tidak mau, malah saya bergurau dengan berjalan seperti orang yang menyandang sakit stroke. Waktu itu saya katakan bahwa saya tidak bisa mengambil
air ke ibu mertua dan meminta isteri saya dan anak saya, untuk mengambil air.
Saya ingin istirahat tidur setelah
minum obat penurun darah tinggi, captopril. Isteri dan anak saya, Widya, pergi ke rumah orangtua-nya untuk
mengambil air dan saya tetap tiduran dengan pusing yang tidak hilang. Belum
lama isteri saya sampai di rumah mertua, saya menelpon dia untuk segera pulang tidak usah
mengambil air,
saya minta untuk kerokan. Saya merasa pusing dan saya menduga masuk angin.
Badan saya dikerokan oleh isteri
saya, dan badan saya merah-merah karena kerokan sebagai tanda masuk angin namun
pusing masih juga tidak hilang. Waktu itu saya masih sempat bisa ke kamar mandi
dan pindah ke tempat tidur di ruang kerja saya yang lebih dekat ke kamar mandi. Saya memang punya ruangan khusus
tempat kerja yang juga dilengkapi dengan tempat untuk tiduran.
Saya tetap tiduran dengan rasa
pusing tidak hilang, kemudian terasa semutan disertai muntah-muntah. Saya tanya
isteri saya, apakah ini gejala stroke
dan isteri saya menjawab tidak tahu. Terakhir saya baru tahu, ternyata
pusing, muntah dan semutan adalah tiga pertama dari gejala serangan stroke. Muntah terus berlangsung
sampai perut saya terasa sakit dan saya tetap tidak mau ke dokter.
Kejadian terus berlangsung sampai
malam dan isteri saya dengan anak saya terkecil tidak bisa tidur dan tetap
menjaga saya. Betapa setianya isteri dan anak saya, menunggui saya.
Saya tidak
sadar bahwa sebenarnya mereka mengharapkan saya ke rumah sakit namun saya terlalu tolol bersikeras tidak ingin ke
rumah sakit.
Kira-kira jam 2.30 dini hari saya ingin pergi ke kamar mandi,
saya minta diantar
oleh isteri dan anak saya. Saat itu baru saya sadar bahwa saya tidak
bisa berdiri, saat itulah saya berteriak sambil memejamkan mata menahan pusing,
“rumah sakit!”, maksudnya saya minta dibawa ke rumah sakit. Isteri saya langsung telpon taksi BlueBird, beruntung sekali taksi cepat datang.
Saya dibopong dari kamar ke mobil taksi oleh beberapa orang termasuk sopir
taksi. Isteri saya bertanya, mau dibawa ke rumah sakit mana, RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) atau Rumah Sakit Advent, saya langsung berteriak
sambil tetap memejamkan mata, “Advent”, artinya minta dibawa ke Rumah Sakit Advent,
Saya memilih Rumah Sakit Advent, karena
pengalaman menunjukkan biasanya rumah sakit swasta tertentu pelayanannya lebih
baik, lebih tanggap, keluarga pasen tidak direpotkan dengan segala prosedur
penangan pasen.
Akhirnya Datang Juga
Setibanya di rumah sakit, saya tetap sadar tapi sejak dari rumah saya terus memejamkan mata menahan rasa
pusing. Saya masih sempat menginstruksikan kepada anggota keluarga yang mengantar saya untuk membayar ongkos
taksi dilebihkan sebagai ungkapan rasa terima kasih saya.
Sambil tetap memejamkan mata saya
ditangani entah oleh dokter atau perawat. Saya jawab setiap pertanyaan dengan
tetap memejamkan mata, saya persilahkan setiap tindakan perawat yang meminta
ijin atau memberi tahu tindakan apa yang akan dilakukan terhadap saya seperti memasang infus dan
memasang kateter untuk pipis. Terdengar pembicaraan perawat ketika mengukur
tekanan darah saya, menyebutkan 185. Sebelumnya saya tidak pernah mengalami tekanan darah setinggi itu, padahal sebelumnya saya meminum obat penurun tekanan
darah tinggi yang biasa dokter berikan,
captopril dua butir pada sore harinya.
Saya mengiyakan ketika perawat akan
membawa saya ke tempat CT-Scan (Computerized
Tomography Scanner) dan saya tetap memejamkan mata. Saya memahami fungsi instrumen dan ketika terasa
saya masuk ke dalam ruang pendeteksian CT Scan, saya tetap memejamkan mata sambil
berusaha tetap
tidak bergerak agar tidak mengganggu hasil pencitraan CT-Scan. Sesudah
dilakukan CT-Scan saya dibawa ke ruangan.
Di tengah perjalanan saya ingin
muntah dan sambil tetap memejamkan mata saya berteriak minta kantong plastik untuk
muntah. Si perawat menyuruh muntah saja tanpa harus menggunakan kantong plastik, namun saya tetap menolak. Saya tidak pernah ingin muntah
sembarangan dan beruntung isteri saya
waktu itu membawa kantong plastik, berjalan di belakang mengantarkan saya. Ia selalu mempersiapkan segalanya, termasuk
pakaian untuk ganti.
Setelah itu saya tak ingat apa yang terjadi karena tertidur sampai pagi tiba.
Pagi
hari saya terbangun, melihat sekeliling, ada isteri dan anak saya,
serta
kerabat saya, jarum
infus terpasang di tangan saya. Saya tetap ingat mereka dan tersenyum memandang
mereka namun saya tersadarkan ternyata badan saya termasuk tangan dan kaki
bagian kiri, lemah tak berdaya, tidak bisa bergerak dan terasa baal.
Saya sedih namun tetap tersenyum dan
saya masih bisa melihat, mengingat dan mengenal orang. Saya tetap masih
bersyukur ketika saya masih hidup, ketika saya masih bisa melihat, ketika saya masih bisa mengenal istri dan anak
saya. Isteri
dan anak terkecil dengan setia menemani saya yang
terbaring di rumah sakit.
Padahal sebenarnya pada hari itu, isteri saya yang harus pergi ke
dokter untuk cek kesehatan karena kondisinya kurang sehat. Tetapi karena melihat kondisi saya
yang sakit maka ia merasa sehat, memaksakan diri merasa sehat.
Gambar III.1
Sakit stroke pertama
Dirawat di Rumah Sakit Advent
Selama
saya dirawat di Rumah Sakit Advent, saya tetap selalu gembira penuh canda.
Banyak kerabat dan teman-teman kantor yang menengok, mereka menghibur dan saya
tetap selalu gembira. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih
kepada dokter dan
para perawat Rumah Sakit Advent baik senior maupun yunior yang telah begitu
ramah merawat saya.
Mereka memberi semangat secara profesional,
ada juga yang memberikan contoh keluarganya yang mengalami stroke. Malah dokter menyarankan saya untuk berhenti makan
daging, “sudahlah berhenti makan daging”, katanya. Saya menceritakan ini,
karena terakhir, lama waktu berlalu, saya mendengar dari terapis Advent bahwa dokter
yang merawat saya itu mendapat serangan stroke juga. Sungguh mereka sangat baik, tidak
percuma lencana yang bertuliskan “Smile” terpasang di baju seragamnya.
Saya hanya merasa risi jika saya mau berurusan dengan toilet, buang air besar manakala saya lemah tak berdaya. Sungguh saya merasa tersiksa jika harus berurusan dengan buang air besar. Hal inilah yang selalu membuat saya ingin cepat keluar rumah sakit, pulang ke rumah. Saya yang selalu ingin mandiri, ternyata harus ditolong melakukan hal hal yang sebenarnya tidak ingin diketahui orang lain, seperti buang air besar.
Saya ingat ketika seorang ibu pembersih
lantai melihat saya bersenda gurau
dengan anak dan isteri saya, dia berkata sambil tersenyum kepada saya, “gembira
adalah obat yang paling baik”. Seorang perawatpun pernah mengatakan kepada saya bahwa saya
selalu gembira dan tersenyum sehingga perawatpun senang melayaninya. Ketika
dokter dengan suster kepala datang untuk mengecek kondisi saya, dari mulai
masuk kamar, perawat memberitahu saya :”Pak Didi, dokter datang“, sungguh saya
merasa mendapat pelayanan yang baik. Pernah juga suatu hari seorang perawat
lain bertanya kepada saya dengan ramahnya : “Bagaimana kabar si opa sekarang?”.
Saya jawab, “Baik, tapi jangan panggil saya opa”. “Mengapa?”, kembali perawat bertanya. Saya jawab, “Saya
belum punya cucu, panggil saya aa, artinya aki-aki”. Saya pun tertawa demikian juga si
perawat.
Saya merasa terhibur walaupun saat
itu saya masih menunggu hasil dari CT-Scan. Dan alhamdulillah hasil dari
CT-Scan menunjukkan bahwa saya hanya mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak, bukan perdarahan di otak. Perdarahan di otak akan memerlukan
operasi di kepala Dan alhamdulillah hasil cek darah saya, semuanya baik. Itu mungkin
karena saya terbiasa tidak merokok, tidak meminum minuman yang beralkohol, juga
narkoba.
Di rumah sakit saya sempat melakukan terapi,
belajar menggerakkan tangan dan kaki sambil tetap berbaring di tempat tidur.
Tangan dan kaki saya belajar bergerak dengan dibantu terapis, 2 kali sehari, pagi dan sore
selama tiga hari terakhir berturut-turut
menjelang kepulangan saya dari rumah sakit. Saya memang masih merasa kesulitan untuk menggerakan
kaki dan tangan sebelah kiri.
Pada hari-hari terakhir saya di
rumah sakit, saya meminta perawatan ditambah dengan dokter ahli syaraf karena
saya berpikir lumpuhnya bagian anggota badan adalah karena stroke dan berhubungan dengan syaraf. Dokter
Walean yang pertama merawat saya mengijinkan dan memberikan dokter Paulus Anam Ong,Sp.S sebagai dokter ahli syaraf untuk merawat saya.
Dokter Anam sangat baik, ramah dan
penuh canda, pada saat pertama memeriksa saya, beliau bertanya “mengapa ingin
dirawat oleh dokter syaraf?”. Saya menjawab seperti awal maksud saya, karena lumpuh akibat stroke adalah berhubungan dengan
syaraf. Dokter Anam juga setengah
bercanda mengatakan kepada saya, jangan terlalu lama di rumah sakit nanti bisa
bangkrut. Saya tertawa mendengarnya dan itu memang benar bagi saya yang
berprofesi sebagai pegawai negeri sipil.
Dokter Anam juga menganjurkan agar saya memanfaatkan keikutsertaan Askes yang bisa saya gunakan di Rumah
Sakit Hasan Sadikin, baik untuk mendapatkan obat ataupun melakukan terapi. Tapi untuk
kontrol dokter, di klinik spesialis swasta yang tidak terlalu banyak pasen. Untuk
obat yang diperlukan bisa menggunakan Askes dengan disposisi dari dokter di
bagian penyakit syaraf, sesuai
aturannya.
Jika
kontrol dokter sebagai peserta Askes, pasennya terlalu banyak sehingga bisa membuat kesal menunggu
bagi penyandang stroke dan kemungkinan malah bisa berakibat buruk pada pasen
itu sendiri. Memang dr Anam adalah
dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin yang bekerja juga sebagai dokter di Rumah
Sakit Advent.
Saya
baru diijinkan pulang oleh dokter setelah saya mampu duduk dengan tidak
merasa pusing, dan saya diharuskan menggunakan kursi roda. Sekali lagi saya ungkapkan, pelayanan
perawat yang ramah, dukungan perawat yang profesional dan nasihat dokter adalah
sangat membantu dalam membangun semangat pasen untuk pulih dari sakit, apapun
itu termasuk stroke.
Saya pernah mendengar cerita bahwa seorang yang menderita stroke pembawaannya itu unik, ada yang membuat si penderita itu gampang menangis atau ada juga yang jadi gampang tertawa. Mungkin saya termasuk yang gampang tertawa saja. Pernah saya bermaksud untuk berbicara dengan bercanda, susahnya minta ampun. Berbicaranya tidak tuntas karena terus terganggu oleh tertawa sendiri.
Saya pernah mendengar cerita bahwa seorang yang menderita stroke pembawaannya itu unik, ada yang membuat si penderita itu gampang menangis atau ada juga yang jadi gampang tertawa. Mungkin saya termasuk yang gampang tertawa saja. Pernah saya bermaksud untuk berbicara dengan bercanda, susahnya minta ampun. Berbicaranya tidak tuntas karena terus terganggu oleh tertawa sendiri.
Di rumah istirahat selama
sebulan
Di rumah saya menggunakan kursi roda pinjaman dari
kerabat, setiap saat saya berlatih seperti yang diajarkan terapis di rumah sakit,
menggerak-gerakan tangan kiri yang sakit dengan bantuan tangan kanan yang sehat.
Saya
beruntung keluarga sangat membantu, terutama isteri dan anak-anak saya.
Berbagai usaha untuk memudahkan saya
beraktifitas sehari-hari disediakan. Untuk mandi secara darurat
disediakan baskom besar berisi air hangat, waslap dan handuk. Untuk pipis
secara darurat disediakan pispot plastik yang mudah dipegang. Kursi duduk kayu dimodifikasi, bagian
tengahnya dilubangi dan ember berisi air disimpan di bawahnya
agar saya
bisa melakukan buang air besar secara darurat di kamar tidur.
Sebenarnya saya tidak bisa buang air
besar secara darurat di kamar tidur. Untuk memaksakan bisa buang air besar,
saya menutup kamar dan mematikan lampu kamar tidur sehingga terasa sepi. Istri
saya tahu keinginan dan kebiasaan saya, dan jika selesai buang air besar, ia
yang membuang kotoran di ember ke kamar mandi/wc.
Walaupun sakit saya tetap saja suka
bercanda. Pernah setelah saya selesai buang air besar, saya keluar kamar dan
berkata kepada istri saya bahwa saya nggak bisa buang air besar, cuma sedikit.
Maka istri saya masuk ke kamar untuk membuang kotoran di ember dan menyalakan
lampu di kamar. Begitu menyalakan lampu kamar ia berteriak setengah memaki saya
karena melihat di ember ternyata kotorannya banyak. Istri saya keluar kamar
sambil menutup hidung dan membawa ember berisi kotoran ke kamar mandi. Saya
cuma tertawa.
Pada awalnya terapi yang dilakukan adalah pasif, artinya saya hanya berbaring dan terapisnya menggerakkan tangan dan kaki saya ke arah yang seharusnya orang normal dapat lakukan. Kemudian saya belajar menggerakan tangan dan kali, didahului dengan peregangan agar otot tidak terlalu tegang. Setahap demi setahap gerakannya saya ikuti semampu saya. Saya amati ternyata gerakan gerakan halus seperti yang biasa dilakukan oleh jari tangan ataupun kaki ternyata amat sulit dilakukan, diperlukan kesabaran untuk melatihnya.
Jika misalnya kita membuka atau
menutup telapak tangan, sulit sekali ke lima jari itu menutup dan membuka
secara berbarengan, selalu saja ada jari yang ketinggalan. Demikian juga reflek gerakan tangan atas respon
kejutan sangat sulit dikontrolnya. Jika misalnya tangan itu dipukul maka
dengan spontan tanpa bisa terkontrol tangan akan tertarik ke dalam.
Saya juga mengikuti anjuran dr Anam
untuk melakukan terapi okupasi atau keterampilan tangan di bagian Rehabilitasi Medik di RSHS, seminggu sekali.
Juga secara rutin sebulan sekali
saya melakukan kontrol kesehatan saya di Klinik Spesialis RSHS dengan dokter Anam dan untuk mendapatkan obat melalui
fasilitas Askes dengan mengikuti prosedurnya..
Obat
yang saya minum adalah obat-obat yang
disarankan dokter, didapat dengan fasilitas Askes, seperti Amlodipne, Clopisan dan vitamin-vitamin. Namun kelak bila sudah berselang lebih dari
setahun, obat yang harganya mahal seperti Clopisan tidak bisa lagi didapat dengan menggunakan Askes.
Gambar III.2 Diterapi oleh terapis dari R S Advent
Beruntung keluarga di rumah dapat menerima kenyataan bahwa
saya sakit stroke dan mereka sangat mendukung sekali kepulihan saya, mereka
dengan sabar dan ikhlas membantu saya. Isteri dan anak saya sering mengantar
saya untuk kontrol kesehatan ke dokter Anam di klinik spesialis dan mengurus
resep dokter yang harus disalin terlebih dahulu di Bagian Syaraf agar bisa menggunakan Askes. Sedangkan untuk
mengambil obatnya di apotek RSHS dilakukan pada keesokan harinya, karena hari
sudah terlalu siang.
Di sini saya ingin mengatakan bahwa rumah yang baik dengan
keluarga yang baik, termasuk isteri/suami dan anak-anak yang sabar,
mengerti dan
mendukung adalah tempat perawatan yang baik.
(Dukungan keluarga, kesabaran dan tetap semangat membantu kesembuhan
penderita stroke)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar