Selamat Datang

Terimakasih anda mengunjungi blog saya.

Sabtu, 24 Oktober 2015

The second life 6




VI.     Meninggalnya isteri tercinta
            Yani, isteri saya adalah wanita dari etnis Jawa namun sudah lama tinggal di Jawa Barat. Isteri yang setia menyertai saya dalam suka dan duka. Sebelum menikah dengan saya, ia bekerja di perusahaan swasta, namun setelah beberapa lama kami menikah saya memintanya untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh perhatian, baik terhadap keluarga ataupun saudara dari pihak saya ataupun dari pihak isteri saya.
            Sejak meninggalnya ibu tercinta, saya jarang sekali bersilturahmi dengan kerabat, baik dari pihak ibu atau ayah. Mungkin hal itu karena sejak remaja saya repot dengan urusan diri sendiri, membiayai hidup diri sendiri, jarang dikunjungi atau mengunjungi kerabat. Tapi sejak menikah dengan Yani, saya mulai berubah. Saya, sering diajak Yani bersilaturahmi dengan kerabat dari pihak Yani, terutama kepada sesepuhnya ataupun sesepuh dari pihak saya yang dianggap dekat.
            Yani bukan hanya memperhatikan keluarganya saja, tapi ia memperhatikan keluaga dari saudaranya. Ia selalu hapal hari ulang tahun saya, anak-anaknya, bahkan hari ulang tahun keluarga dari saudaranya. Berbeda dengan saya, mudah lupa, susah ingat.
            Pernah di suatu pagi hari di tanggal 2 Maret, saya sedang asyik membaca koran pagi di ruang tamu, sedangkan istri saya di dapur. Kemudian Yani   ke ruang tamu sebentar entah apa yang akan dilakukannya, biasanya ia menyapa saya. Saya hanya melirik istri saya, namun saya merasakan sesuatu yang berbeda, suasana yang dingin. Mungkin merasakan suasana yang dingin, Listya anak terkecil saya berteriak dari kamarnya, “Papah,  mamah ulang tahun!” Saya kaget, lupa bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya. Langsung saya meletakkan koran, kemudian menghampirinya, memberi ucapat selamat ulang tahun sambl mengecup keningnya. Isteri saya kemudian terlihat ceria dan siangnya kami sekeluarga makan ‘mie panjang umur’, hasil masakannya. Hanya itu, cukup sederhana.
            Yani, sejak masa gadisnya ia adalah orang yang rajin bekerja dan pada masa gadisnya ia pernah hidup bersama keluarga pamannya. Waktu itulah ia pernah mengalami sakit liver. Setelah menikah dengan saya, beberapa kali Yani pernah mengalami sakit hepatitis yang cukup berat. Tapi alhamdulillah setiap Yani sakit, saya mempunyai uang untuk membiayai pengobatan dan perawatannya.
            Biasanya uang didapat setelah saya baru mengikuti pelatihan beberapa bulan di luar negeri, saya punya uang. Saya pernah menangis dalam doa shalat Iedul Fitri memohon kepada Allah SWT agar isteri saya sembuh dan alhamdulillah isteri saya dapat sembuh. Terkadang jika Yani sakit, ia dirawat di rumah sakit atau ia dirawat di rumah ibunya, mertua saya, agar ia dapat ikut terurus oleh ibunya dan kerabatnya. Saya beserta anak-anak dapat menjenguknya setiap saat.      Kendatipun sakit, terasa oleh saya beserta anak-anak, betapa ia tetap memperhatikan kami sebagai isteri dan ibu dari anak-anaknya. Isteri saya jarang menceritakan hal hal yang menghawatirkan saya, termasuk juga kenakalan anak-anak. Ia tidak ingin saya marah jika mendengar berita tentang kenakalan anak-anaknya. Ia baru bercerita kepada saya tentang kenakalan anak-anak, lama setelah kejadiannya selesai.
            Pada suatu hari setelah selang beberapa tahun dari kesembuhanya ia pernah mengatakan kepada saya, bahwa ia pernah pingsan ketika di rumah ibunya. Dalam pingsannya ia merasakan berjalan dalam lorong yang gelap menuju suatu titik cahaya yang terang, namun dalam perjalanannya ia mendengar  suara bibinya memanggil, “Yani, Yani kembali, kasihan kang Didi, suamimu beserta anak anak”. Mendengar suara itu isteri saya kembali tersadarkan dari pingsannya. Saya kaget mendengar ceritanya, bercampur haru.
            Saya merasa bahwa isteri saya adalah anugerah dari Allah SWT yang sangat membantu, berkorban  dalam  menemani saya. Saya memang membutuhkan seorang isteri untuk bersama dalam suka dan duka. Saya teringat ayah saya, bagaimana sebenarnya ayah  membutuhkan seorang isteri untuk mencari kehidupan dan mengurus keluarga.
            Ada cerita, dulu saat kurang lebih usia perkawinan saya dan isteri menginjak usia 10 tahun, saya sekeluarga sedang berada di rumah ibu mertua yang terletak di gang kecil.  Lewatlah seorang nenek tua tak dikenal dan disapa oleh ibu mertua yang kebetulan sedang ngobrol dengan tamunya di ruang tamu. Kebiasaan ibu mertua suka menyapa orang yang lewat, terutama yang tua walaupun belum kenal. Nenek tua itu kemudian masuk  dan bersilaturahmi dengan ibu mertua dan tamunya. Saya pun bersama isteri dengan ramah ikut menyambutnya, menghampiri untuk bersalaman.
            Saat melihat saya,  nenek tua itu tiba-tiba menegur saya, berkata dalam bahasa Sunda, ‘tah ieu  bangor, saha tah nu sok ditoal-toel di kantor, awewe nu leutik leutik hideung”, yang artinya dalam bahasa Indonesia, “nah ini  nakal, siapa tuh yang suka dicolak-colek di kantor, perempuan kecil agak hitam”. Saya juga kaget mendengar apa yang dikatakan si nenek dan  cuma bisa ketawa saja, Dalam hati memang saya membenarkan ucapan nenek tua itu.
            Kemudian disuruhnya saya membawa beras dan air di gelas. Diambilnya 2 butir beras, setelah berkomat komit dicemplungkannya 2 butir beras berturutan  ke dalam gelas berisi air. Aneh, 2 butir beras itu terus bersatu dan berdempetan tidak tenggelam. Kemudian si nenek tua itu berkata bahwa saya dan isteri saya itu selalu ingin bersama.
            Tak lama setelah nenek tua itu pamit, saya mencoba mencemplungkan 2 butir beras ke dalam gelas berisi air, berkali-kali sambil berkomat-kamit sebisanya doa, beras itu nggak pernah bisa mengambang. Saya  tidak habis pikir, mengapa ada kejadian itu,  nenek tua lewat, bersilaturahmi sebentar, berbicara tentang saya, kemudian pergi lagi.
            Saya biasa saja tidak merasa resah saat nenek tua berbicara tentang saya, istri sayapun biasa saja. Saya merasa istri saya dan ibu mertua saya percaya kepada saya dan memang saya suka bercanda. Istri saya mengenal dengan baik semua teman-teman sekantor, terutama yang satu bidang kerja, karena saya dan isteri sering bertemu mereka. Saya tidak pernah ingin selingkuh, menghianati istri saya.
Sakit yang tak tersembuhkan
            Setelah beberapa lama mendampingi saya dalam sakit stroke sampai kemudian saya dapat dikatakan baik, isteri saya kembali aktif mengikuti kegiatan ibu-ibu di lingkungan RT/RW. Secara rutin isteri saya sering mengikuti kegiatan pengajian baik di mesjid ataupun di rumah rumah temannya secara bergantian. Saya bangga bercampur rasa haru jika melihat sang isteri pulang dari pengajian dalam seragam putihnya sebagai tanda anggota kelompok ibu-ibu pengajian. Kadang kadang ia pulang membawa makanan dalam dus, biasanya saya yang suka memakannya, karena memang saya senang makan kue-kue.
            Sebagai seorang ibu rumah tangga, isteri saya sangat memperhatikan keluarga, suami dan anak-anak. Tiap pagi dan sore ia biasa menyiapkan air teh manis untuk seluruh anggota keluarga. Namun setelah krisis moneter tahun 1998 kebiasaan membuat teh manis itu hanya dilakukan di pagi hari. Ia dapat hidup sederhana dalam keluarga dan lebih mementingkan pendidikan anak-anaknya, dibandingkan dengan pengadaan perabotan rumah tangga seperti meja dan kursi tamu, dan makanpun kami sederhana.
            Jika kebetulan ia berada di luar bersama saya, ia sering menolak kalau saya ajak makan di restoran. Dengan alasan tidak tega makan di restoran karena ingat anak-anak di rumah. Alhamdulillah sebelum saya sakit stroke, kami telah mengantarkan semua anak-anak menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan telah bekerja kecuali anak yang bungsu.      Anak yang bungsu memang pernah bekerja di salah satu Bank swasta, namun berhenti lagi karena tidak betah. Anak pertama saya sudah menikah dan tinggal di Blitar. Anak kedua saya bekerja di Batan Bandung bersama saya, satu kantor dan satu ruangan dengan saya. Anak kedua menikah saat saya menyandang sakit stroke namun saya bersama isteri dapat melaksanakan semua prosesi pernikahan dengan baik dan lancar.
            Saya belum sempat mengunjungi rumah keluarga besan di Bantul, Jogyakarta, namun isteri saya dan adik ipar saya sempat mengunjungi keluarga besan untuk merayakan ngunduh mantu setelah acara pernikahan di Bandung.
            Setelah lama berselang maka mulailah terlihat isteri saya kondisinya menurun.  Namun isteri saya tetap saja melakukan kewajiban sebagai seorang isteri dengan baik. Pagi pagi sudah bekerja di dapur menyediakan makanan dan minuman buat keluarga, termasuk menyediakan pakaian untuk saya pergi ke kantor. Isteri saya paling tahu dan sering mengingatkan saya jika saya memakai baju yang itu-itu saja untuk pergi ke kantor.
            Dalam kondisi yang menurun, isteri saya tetap saja sering mengikuti pengajian. Saya sering mengeluh mengingatkan isteri saya untuk tidak melakukan pengajian dahulu, namun isteri saya terus saja melakukan pengajian jika kondisinya masih memungkinkan.
            Tanggal 2 Maret tahun 2010 yang adalah hari ulang tahunnya yang ke 54, ia masih mengajari anak saya yang bungsu untuk bagaimana mengikuti proses pengambilan obat melalui Askes, dari mulai resep dari dokter Anam di poliklinik spesialis, kemudian diganti tulisan resepnya oleh dokter yang bertugas di Bagian Syaraf, barulah diserahkan ke Apotek di RSHS.          
          Proses itu cukup lama, dari pagi sampai siang, karena memang yang mengantri obat di Apotek itu cukup banyak. Istri saya kelelahan, sambil duduk di kursi, dia berkata kepada anak saya dalam bahasa Sunda, ‘Teunteuingeun rumah sakit teh ngasih kado ulang taun ka mamah, mani cape”,  yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Terlalu rumah sakit ini memberi hadiah ulang tahun kepada mamah, sangat lelah”.

Seperti ada malaikat yang membantu menjualkan rumah
            Saat sakit isteri saya sering juga kontrol ke dokter ahli penyakit dalam yang dulu pernah merawatnya, namun hasilnya kali ini tidak cukup menggembirakan. Sampai suatu waktu isteri saya mengatakan kepada saya bahwa ia ingin dirawat di rumah sakit, ia ingin  sembuh, ingin bisa melihat cucu.
            Memang saat itu menantu saya di Malang sedang mengikuti pendidkan S2 di Universitas Brawijaya dan sedang mengandung bakal cucu kami yang pertama. Atas permintaan isteri saya itu, saya mengiyakan, saya setuju karena saya ingin sekali melihat isteri saya sembuh dan bisa bersama menengok cucu kelak bila sudah lahir.
            Maka dirawatlah isteri saya di Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan dokter ahli penyakit dalam yang merawatnya dahulu selama kurang lebih seminggu. Yang menjaga isteri saya selama di rumah sakit adalah anak-anak saya, menantu yang kedua secara bergantian dan kadang kadang kerabat isteri saya, sedangkan saya sendiri di rumah. Alhamdulillah ada juga hasil perawatan di rumah sakit walaupun tidak terlihat pulih benar.
            Kendala yang ada pada isteri saya adalah sulitnya isteri saya makan atau minum yang mengandung susu, yang menurut saya adalah makanan  yang sehat. Saya sering mengeluhkan kepada isteri saya bahwa mengapa isteri saya tidak bisa memaksakan makan minum yang dianggap sehat. Saya sering mengatakan, membandingkan bahwa saya juga sakit stroke, tapi mau makan apa saja yang sekiranya itu dianggap obat atau menyehatkan.
            Tetapi isteri saya mengatakan bahwa sakitnya benar tidak bisa membuatnya bisa makan dengan baik, bahkan isteri saya mengatakan bahwa saya belum bisa merasakan sakit. Saya cukup bingung mendengarnya, benarkah saya tidak bisa merasakan sakit, atau bisa jadi saya tidak menyadari bahwa seseorang yang sakit ada kemungkinan tubuhnya tidak bisa lagi dengan sempurna menerima makanan atau minuman.
            Saya mempunyai rumah di komplek Margahayu Raya sebelum saya pindah ke rumah dinas di Hegarmaah, tempat saya tinggal saat ini. Rumah di Margahayu Raya adalah rumah pertama yang kami miliki secara kredit melaui BTN, Bank Tabungan Negara, saat kami baru menikah. Saya ingat waktu kami membayar uang mukanya adalah dengan menjual segala perhiasan isteri saya dan saya yang menyicilnya karena yang mempunyai gaji sebagai pegawai negeri.
            Sedangkan rumah di jalan Hegarmanah adalah asalnya rumah dinas dari kantor yang sudah kami beli dengan mencicil. Memang ada aturan bahwa rumah dinas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun dapat dijual kepada pegawai kantornya, yang mendiaminya.
            Karena saya sudah merasa betah tinggal di rumah Hegarmanah dan sudah melunasi cicilannya, maka saya bermaksud menjual rumah saya yang di Margahayu Raya. Rumah saya yang di Margahayu masih asli seperti pertama dibangun 30 tahun yang lalu karena memang saya tidak punya cukup uang untuk merenovasinya.
            Setelah saya tinggalkan 25 tahun yang lalu, rumah itu hanya kadang kadang dikontrakkan dengan murah. Di samping saya sudah merasa kerepotan mengurus rumah itu, saya juga butuh uang untuk persiapan kelak anak-anak menikah.          .
            Saya menyuruh menantu saya memasang plakat di kaca rumah tersebut bahwa rumah itu akan dijual dan menuliskan nomor telepon rumah saya bila perlu menghubungi. Ya, karena rumah itu tidak  bagus maka tidak banyak orang yang menawar rumah tersebut.
            Namun pada suatu hari ada orang menelpon isteri saya menanyakan rumah saya yang akan dijual. Istri saya bertanya pada orang itu, dari mana mendapat informasi bahwa rumah saya akan dijual. Orang itu berkata bahwa ia mendapat informasi dari koran dan langsung melihat rumah saya, kemudian menghubungi kami melalui nomor telepon yang tertera di plakat yang terpasang di kaca rumah saya.
            Saya cukup heran, padahal saya tidak pernah mengiklankan penjualan rumah di koran. Isteri saya mengatakan, mungkin ada malaikat menolong kita agar rumah bisa terjual. Saya sendiri memperkirakan, bisa jadi ada orang yang biasa jual beli rumah, kemudian mengiklankan rumah saya, karena sebelumnya ada juga yang bertanya lewat telepon mengenai harga rumah yang akan dijual tersebut.
            Setelah kita berunding dengan orang yang bermaksud membeli rumah saya, maka kita bersepakat untuk transaksi penjualan rumah saya. Kebetulan orang yang akan membeli rumah saya itu, suami/isteri yang baik, tawar menawarpun berjalan dengan lancar.
            Alhamdulillah saya bisa mendapatkan uang dan isteri sayapun bisa berobat ke rumah sakit dengan leluasa dan kami mempunyi cadangan uang untuk bekal kelak anak-anak kami menikah. Isteri sayapun bisa berbelanja berbagai keperluan sebagai persiapan kelak menjenguk cucu, termasuk titip belanja perhiasan gelang emas untuk cucu. Kebiasaan ibunya yang suka menghadiahkan perhiasan emas untuk tiap cucu perempuan saat lahir, dicontoh oleh istri saya.
Akhirnya datang juga
            Waktu terus berjalan, kami mendapat kabar bahwa cucu petama kami lahir di Malang. Kami senang, namun kami belum dapat segera menengoknya. Saya merasa sudah pulih dengan kondisi saya, sakit stroke saya sudah sembuh cukup baik.  
            Sedangkan isteri saya masih sering sakit dan dalam sakitnya, saya tidak dapat berbuat banyak ikut mengurusinya. Ia sering berinisiatip sendiri dengan persetujuan saya dirawat di rumah sakit dengan ditemani anak terkecil kami. Dan jika saya menengoknya di rumah sakit, isteri saya dan anak-anak sering menyuruh saya pulang, untuk tidak berlama-lama di rumah sakit, lebih baik saya beristirahat di rumah.      
            Pernah saya kaget ketika saya berada di kamar sendiri, sedang bekerja di depan komputer, tiba tiba isteri saya pulang bersama anak saya, dari perawatan Rumah Sakit Hasan Sadikin.. Ia masih menyapa saya dengan ramahnya penuh sayang, “papah”, seolah-olah bukan ia yang sakit. Dan saya cuma melirik sambil berkata, “eh si mamah kok kurus sekali”. Isteri saya oleh dokter sudah dinyatakan tidak apa apa, sembuh, cuma disarankan makan yang banyak, yang baik, yang sehat.
            Namun sayangnya isteri saya kurang suka dengan makanan yang sehat seperti susu dan lain sebagainya sedangkan aktifitas kerjanya tetap banyak. Sampai suatu ketika saya melihatnya bahwa kondisinya memburuk lagi, tidak baik menurut saya, sakit, terlalu kurus. Saya memintanya agar ia dirawat lagi di Rumah Sakit Advent dan iapun menurutinya. Dokter di rumah sakit Advent juga mengatakan, untung cepat datang ke rumah sakit, istri saya dehidrasi, kekurangan cairan tubuh. Anak dan menantu saya yang mengurusnya dan saya bertanggung jawab dalam pengadaan biayanya saja.
            Entah apa yang terjadi, setelah beberapa hari isteri yang meminta agar ia diijinkan pulang dan dokterpun menyetujuinya. Maka pada hari Minggu sore saya terkejut, isteri saya pulang dari rumah sakit dengan diantar ambulance. Jika saja pada saat itu saya berada di rumah sakit, pastilah saya tidak akan mengijinkan ia pulang, ia masih perlu perawatan, saya heran mengapa dokter mengijinkan isteri saya pulang.
            Dan secara kebetulan  hari itu juga, pada siang hari anak saya, menantu dan cucu saya yang masih bayi datang ke rumah dari Malang, naik pesawat. Cucu saya walaupun masih bayi, diijinkan naik pesawat dengan rekomendasi dokter. Sedangkan mbahnya, ibu dan bapak mertua anak saya menyusul naik kereta api untuk maksud menengok isteri saya. Pada malam harinya isteri saya tidur bersama cucu saya dan anak terkecil saya, sedangkan saya tidur di kamar lain.     
            Pada pagi harinya kita bangun seperti biasa dan isteri saya meminta dibaringkan di sofa ruang tamu. Anak saya yang kedua sudah pergi kerja ke kantor sedangkan saya tidak karena sedang mengambil cuti tahunan. Walaupun dalam keadaan sakit, isteri saya masih juga ikut mengatur keadaan rumah, meminta tirai jendela di buka lebar agar sinar matahari masuk. .isteri saya juga meminta anak saya yang baru datang dari Malang, memasangkan tempat air aqua kemasan gelas yang baru, yang belum digunakan dan mengisinya dengan aqua gelas.
            Saya memang agak risi melihat isteri saya dalam keadaan sakit masih saja ikut mengatur. Merasakan situasi itu, isteri saya yang terbaring di kursi tamu, memanggil saya agar mendekati dan sayapun menghampirinya, berjongkok. Setelah mendekat isteri saya berkata kepada saya bahwa agar saya jangan marah dan kecewa. Isteri saya berkata sambil menyabut rambut putih yang ada di kepala saya. Memang ketika ia sehat suka menyabuti rambut putih saya, sedangkan jika saya dimintai tolong menyabuti rambut putihnya, saya agak malas, jadi ngantuk.        
            Mendengar isteri saya berkata begitu, sambil tertawa saya katakan, bahwa saya tidak marah dan tidak kecewa. Saya katakan bahwa saya hanya ingin agar isteri saya dalam situasi sakit janganlah menguras energi untuk hal-hal sepele, mengatur keadaan rumah. Dan saya ingin agar isteri saya mau memaksakan diri untuk makan makanan yang sekiranya dapat menyehatkan, menyembuhkan.
            Pagi itu isteri saya merasakan agak sesak nafas sedangkan persediaan oksigen untuk membantu bernafas sedikit, maklum tabung yang digunakan ukuran kecil. Anak saya yang terbesar berinisiatif  berangkat untuk membeli oksigen. Secara kebetulan pada pagi itu,  adik laki laki dari isteri saya datang dari Sidoarjo menengok isteri saya. Saya sendiri menyetel lagu di komputer yang ada di ruang tamu, kesenangan saya lagu “House for Sale”.            
            Beberapa waktu kemudian tampak isteri saya seperti terengah-engah, sesak, adik isteri saya memijiti tangannya dan sayapun ikut memijiti kaki isteri saya. Namun seterusnya kondisi yang menimpa isteri saya kian memburuk. Melihat situasi demikian saya merasa khawatir dan segera saya mematikan lagu di komputer dengan cara langsung menyabut steker listrik komputer dari stop kontak listrik. Seketika juga adik isteri saya menyebut nyebut nama isteri saya, “mbak Yani, mbak Yani”. Rupanya saat itu isteri saya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Melihat kejadian itu, Listya anak saya yang terkecil menangis dan buru buru ke kamar kakaknya untuk mengambil jilbab kakaknya dan memakainya. Dia ingat kata-kata ibunya bahwa ibunya ingin melihat dia memakai jilbab.
            Saya masih penasaran, belum yakin isteri saya sudah meninggal, saya meminta bantuan petugas klinik kesehatan Secapa, Sekolah Calon Perwira yang berada di dekat rumah saya dan juga memanggil dokter di kantor saya, sekalian dengan memberitahu anak saya di kantor.       Barulah dokter meyakinkan saya bahwa isteri saya sudah meninggal. Saya termenung, sadar bahwa isteri saya tak akan kembali lagi, meninggalkan keluarga untuk selamanya.
            Saya sangat terpukul, rupanya Tuhan menakdirkan isteri saya sudah cukup menemani saya. Mungkin Tuhan telah memberikan waktu yang lebih karena dulu ketika ia pingsan dalam sakitnya, ia  merasakan berjalan dalam sebuah lorong menuju titik cahaya namun kembali lagi tersadarkan karena mendengar suara bibinya memanggil, “Yani, Yani kembali, kasihan kang Didi, suamimu beserta anak anak”.
            Saya merasa ini sebuah suratan takdir  dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah memberi bonus waktu yang lebih bagi isteri saya menemani saya bersama anak-anak. Dia adalah milik Tuhannya, milik Allah SWT.  Demikian juga dengan kepulangan isteri saya  dari rumah sakit yang diijinkan dokter. Kalau saja  saat itu saya berada di rumah sakit, tentu saya tidak akan mengijinkan isteri saya pulang dari rumah sakit. Dan ternyata kepulangan isteri saya dari rumah sakit, memberikan kesempatan bagi isteri saya untuk melihat cucu pertamanya. Kalau saja isteri saya tetap masih di rumah sakit, tentu seorang bayi berumur 1 bulan tidak akan diijinkan untuk ikut menengok isteri saya yang sakit. Keinginan isteri saya untuk melihat cucunya terkabulkan, namun untuk yang pertama dan terakhir. Saya tak habis pikir.
            Ternyata yang dinginkan isteri saya dengan menyuruh anaknya untuk memasangkan tempat air aqua yang baru dan mengisinya dengan kemasan aqua gelas, berguna karena memang kemudian banyak keluarga dan tamu tamu yang datang. Sepertinya isteri saya dalam setiap kesempatan menginginkan hal yang terbaik buat saya, buat keluarganya.

Gambar VI,1 Ketika istri sakit dirawat di R S Advent

            Saya dan keluarga mengadakan acara tahlilan atas meninggalnya isteri saya. Anak saya, Widya mengatakan kepada saya bahwa ibunya sempat berkata kepadanya, walaupun Widya dan suaminya tidak berkenan dengan kebiasaan tahlilan, tapi isteri saya ingin ditahlilkan. Saya terkadang merasa heran mengapa isteri saya berkata soal tahlil kepada anak saya, seakan-akan sudah merasa akan meninggal. Tapi terhadap saya tidak pernah berkata soal yang demikian.

            Selang beberapa hari setelah isteri saya meninggal, suami/isteri yang membeli rumah saya datang ke rumah karena ada suatu surat yang diperlukan. Mereka kaget mendengar bahwa istri saya sudah meninggal, isteri yang membeli rumah itu mengatakan kepada saya, mengingatkan bahwa isteri saya pernah berkata kepadanya bahwa ia ingin berkurban sapi.  Maka sayapun di Hari Raya Qurban melaksanakan kurban sapi..
            Beberapa waktu berlalu, saya kontrol ke dr Anam di RSHS dengan diantar anak terkecil saya. Dr Anam bertanya kepada saya karena ia merasa sudah lama tidak berjumpa isteri saya, “mana isteri anda yang baik, biasa mengantar anda?”. Saya pun menjawab bahwa isteri saya sudah meninggal. Dr Anam dan perawatpun kaget, terdiam sejenak, kemudian berkata “sebentar saya ingin mengenang isteri anda, dia begitu baik”. Dr Anam kemudian bertanya,  apa penyebab isteri saya meninggal. Sayapun menjelaskan bahwa isteri saya meninggal karena sakit sirosis hati dan hepatitis yang lama dideritanya. Dr Anam pun kemudian berkata bahwa sudah benar yang sakit sirosis mampu mengurus yang stroke tapi yang stroke tidak bisa mengurus yang sakit sirosis. Kemudian sambil memeriksa saya, dr Anam berkata bahwa kehidupan ini milik yang di atas, Tuhan maksudnya.

(Isteri yang baik, setia, penuh dengan  keikhlasan melayani keluarga  adalah anugerah tak ternilai dari Allah SWT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar