VI. Meninggalnya isteri
tercinta
Yani, isteri saya adalah wanita dari etnis
Jawa namun sudah lama tinggal di Jawa Barat. Isteri yang setia menyertai saya
dalam suka dan duka. Sebelum menikah dengan saya, ia bekerja di perusahaan
swasta, namun setelah beberapa lama kami menikah saya memintanya untuk berhenti
bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang
penuh perhatian, baik terhadap keluarga ataupun saudara dari pihak saya ataupun
dari pihak isteri saya.
Sejak
meninggalnya ibu tercinta, saya jarang sekali bersilturahmi dengan kerabat,
baik dari pihak ibu atau ayah. Mungkin hal itu karena sejak remaja saya repot
dengan urusan diri sendiri, membiayai hidup diri sendiri, jarang dikunjungi
atau mengunjungi kerabat. Tapi sejak menikah dengan Yani, saya mulai berubah.
Saya, sering diajak Yani bersilaturahmi dengan kerabat dari pihak Yani, terutama
kepada sesepuhnya ataupun sesepuh dari pihak saya yang dianggap dekat.
Yani
bukan hanya memperhatikan keluarganya saja, tapi ia memperhatikan keluaga dari
saudaranya. Ia selalu hapal hari ulang tahun saya, anak-anaknya, bahkan hari
ulang tahun keluarga dari saudaranya. Berbeda dengan saya, mudah lupa, susah
ingat.
Pernah
di suatu pagi hari di tanggal 2 Maret, saya sedang asyik membaca koran pagi di
ruang tamu, sedangkan istri saya di dapur. Kemudian Yani ke ruang tamu sebentar entah apa yang akan
dilakukannya, biasanya ia menyapa saya. Saya hanya melirik istri saya, namun
saya merasakan sesuatu yang berbeda, suasana yang dingin. Mungkin merasakan
suasana yang dingin, Listya anak terkecil saya berteriak dari kamarnya,
“Papah, mamah ulang tahun!” Saya kaget,
lupa bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya. Langsung saya meletakkan koran,
kemudian menghampirinya, memberi ucapat selamat ulang tahun sambl mengecup
keningnya. Isteri saya kemudian terlihat ceria dan siangnya kami sekeluarga
makan ‘mie panjang umur’, hasil masakannya. Hanya itu, cukup sederhana.
Yani,
sejak masa gadisnya ia adalah orang yang rajin bekerja dan pada masa gadisnya
ia pernah hidup bersama keluarga pamannya. Waktu itulah ia pernah mengalami
sakit liver. Setelah
menikah dengan saya, beberapa kali Yani pernah mengalami sakit hepatitis yang
cukup berat. Tapi alhamdulillah setiap Yani sakit, saya mempunyai uang untuk
membiayai pengobatan dan perawatannya.
Biasanya
uang didapat setelah saya baru mengikuti pelatihan beberapa bulan di luar
negeri, saya punya uang. Saya pernah menangis dalam doa shalat Iedul Fitri
memohon kepada Allah SWT agar isteri saya sembuh dan alhamdulillah isteri saya
dapat sembuh. Terkadang jika Yani sakit, ia dirawat di rumah sakit atau ia
dirawat di rumah ibunya, mertua saya, agar ia dapat ikut terurus oleh ibunya
dan kerabatnya. Saya beserta anak-anak dapat menjenguknya setiap saat. Kendatipun sakit, terasa oleh saya beserta
anak-anak, betapa ia tetap memperhatikan kami sebagai isteri dan ibu dari
anak-anaknya. Isteri saya jarang menceritakan hal hal yang menghawatirkan saya,
termasuk juga kenakalan anak-anak. Ia tidak ingin saya marah jika mendengar
berita tentang kenakalan anak-anaknya. Ia baru bercerita kepada saya tentang
kenakalan anak-anak, lama setelah kejadiannya selesai.
Pada
suatu hari setelah selang beberapa tahun dari kesembuhanya ia pernah mengatakan
kepada saya, bahwa ia pernah pingsan ketika di rumah ibunya. Dalam pingsannya
ia merasakan berjalan dalam lorong yang gelap menuju suatu titik cahaya yang
terang, namun dalam perjalanannya ia mendengar
suara bibinya memanggil, “Yani, Yani kembali, kasihan kang Didi, suamimu
beserta anak anak”. Mendengar suara itu isteri saya kembali tersadarkan dari
pingsannya. Saya kaget mendengar ceritanya, bercampur haru.
Saya
merasa bahwa isteri saya adalah anugerah dari Allah SWT yang sangat membantu,
berkorban dalam menemani saya. Saya memang membutuhkan seorang
isteri untuk bersama dalam suka dan duka. Saya teringat ayah saya, bagaimana sebenarnya
ayah membutuhkan seorang isteri untuk
mencari kehidupan dan mengurus keluarga.
Ada
cerita, dulu saat kurang lebih usia perkawinan saya dan isteri menginjak usia 10
tahun, saya sekeluarga sedang berada di rumah
ibu mertua yang terletak di gang kecil. Lewatlah seorang nenek
tua tak dikenal dan disapa oleh ibu
mertua yang kebetulan sedang ngobrol dengan tamunya di ruang tamu. Kebiasaan
ibu mertua suka menyapa orang yang lewat, terutama yang tua walaupun belum
kenal. Nenek tua itu kemudian masuk dan bersilaturahmi dengan ibu mertua dan tamunya. Saya pun bersama
isteri dengan ramah ikut menyambutnya, menghampiri
untuk bersalaman.
Saat melihat saya, nenek tua itu tiba-tiba menegur saya, berkata
dalam bahasa Sunda, ‘tah ieu bangor,
saha tah nu sok ditoal-toel di kantor, awewe nu leutik leutik hideung”, yang artinya dalam bahasa Indonesia,
“nah ini nakal, siapa tuh yang suka dicolak-colek di kantor, perempuan
kecil agak hitam”. Saya juga kaget mendengar apa yang dikatakan si nenek
dan cuma bisa ketawa saja, Dalam hati memang saya membenarkan ucapan nenek tua
itu.
Kemudian
disuruhnya saya membawa beras dan air di gelas. Diambilnya 2 butir beras,
setelah berkomat komit dicemplungkannya 2 butir beras berturutan ke dalam gelas berisi air. Aneh, 2 butir beras itu terus
bersatu dan berdempetan
tidak tenggelam. Kemudian si nenek tua itu berkata bahwa saya dan isteri saya
itu selalu ingin bersama.
Tak
lama setelah nenek tua itu pamit, saya mencoba mencemplungkan 2 butir beras ke
dalam gelas berisi air, berkali-kali sambil berkomat-kamit sebisanya doa, beras itu
nggak pernah bisa mengambang. Saya tidak habis pikir, mengapa ada kejadian itu, nenek tua lewat,
bersilaturahmi
sebentar, berbicara tentang saya, kemudian pergi
lagi.
Saya biasa saja tidak merasa
resah saat nenek tua berbicara tentang saya, istri sayapun biasa saja. Saya
merasa istri saya dan ibu mertua saya percaya kepada saya dan memang saya suka
bercanda. Istri saya mengenal dengan baik semua teman-teman sekantor, terutama
yang satu bidang kerja, karena saya dan isteri sering bertemu mereka. Saya
tidak pernah ingin selingkuh, menghianati istri saya.
Sakit yang tak
tersembuhkan
Setelah
beberapa lama mendampingi saya dalam sakit stroke sampai kemudian saya dapat
dikatakan baik, isteri saya kembali aktif mengikuti kegiatan ibu-ibu di
lingkungan RT/RW. Secara rutin isteri saya sering mengikuti kegiatan pengajian
baik di mesjid ataupun di rumah rumah temannya secara bergantian. Saya bangga
bercampur rasa haru jika melihat sang isteri pulang dari pengajian dalam
seragam putihnya sebagai tanda anggota kelompok ibu-ibu pengajian. Kadang
kadang ia pulang membawa makanan dalam dus, biasanya saya yang suka memakannya,
karena memang saya senang makan kue-kue.
Sebagai
seorang ibu rumah tangga, isteri saya sangat memperhatikan keluarga, suami dan
anak-anak. Tiap pagi dan sore ia biasa menyiapkan air teh manis untuk seluruh
anggota keluarga. Namun setelah krisis moneter tahun 1998 kebiasaan membuat teh
manis itu hanya dilakukan di pagi hari. Ia dapat hidup sederhana dalam keluarga
dan lebih mementingkan pendidikan anak-anaknya, dibandingkan dengan pengadaan perabotan
rumah tangga seperti meja dan kursi tamu, dan makanpun kami sederhana.
Jika
kebetulan ia berada di luar bersama saya, ia sering menolak kalau saya ajak
makan di restoran. Dengan alasan tidak tega makan di restoran karena ingat
anak-anak di rumah. Alhamdulillah sebelum saya sakit stroke, kami telah
mengantarkan semua anak-anak menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan
telah bekerja kecuali anak yang bungsu. Anak
yang bungsu memang pernah bekerja di salah satu Bank swasta, namun berhenti
lagi karena tidak betah. Anak pertama saya sudah menikah dan tinggal di Blitar.
Anak kedua saya bekerja di Batan Bandung bersama saya, satu kantor dan satu
ruangan dengan saya. Anak kedua menikah saat saya menyandang sakit stroke namun
saya bersama isteri dapat melaksanakan semua prosesi pernikahan dengan baik dan
lancar.
Saya
belum sempat mengunjungi rumah keluarga besan di Bantul, Jogyakarta, namun isteri
saya dan adik ipar saya sempat mengunjungi keluarga besan untuk merayakan
ngunduh mantu setelah acara pernikahan di Bandung.
Setelah
lama berselang maka mulailah terlihat isteri saya kondisinya menurun. Namun isteri saya tetap saja melakukan kewajiban
sebagai seorang isteri dengan baik. Pagi pagi sudah bekerja di dapur
menyediakan makanan dan minuman buat keluarga, termasuk menyediakan pakaian
untuk saya pergi ke kantor. Isteri saya paling tahu dan sering mengingatkan
saya jika saya memakai baju yang itu-itu saja untuk pergi ke kantor.
Dalam
kondisi yang menurun, isteri saya tetap saja sering mengikuti pengajian. Saya
sering mengeluh mengingatkan isteri saya untuk tidak melakukan pengajian dahulu,
namun isteri saya terus saja melakukan pengajian jika kondisinya masih
memungkinkan.
Tanggal
2 Maret tahun 2010 yang adalah hari ulang tahunnya yang ke 54, ia masih
mengajari anak saya yang bungsu untuk bagaimana mengikuti proses pengambilan
obat melalui Askes, dari mulai resep dari dokter Anam di poliklinik spesialis,
kemudian diganti tulisan resepnya oleh dokter yang bertugas di Bagian Syaraf,
barulah diserahkan ke Apotek di RSHS.
Proses itu cukup lama, dari pagi sampai siang, karena memang yang mengantri obat di Apotek itu cukup banyak. Istri saya kelelahan, sambil duduk di kursi, dia berkata kepada anak saya dalam bahasa Sunda, ‘Teunteuingeun rumah sakit teh ngasih kado ulang taun ka mamah, mani cape”, yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Terlalu rumah sakit ini memberi hadiah ulang tahun kepada mamah, sangat lelah”.
Proses itu cukup lama, dari pagi sampai siang, karena memang yang mengantri obat di Apotek itu cukup banyak. Istri saya kelelahan, sambil duduk di kursi, dia berkata kepada anak saya dalam bahasa Sunda, ‘Teunteuingeun rumah sakit teh ngasih kado ulang taun ka mamah, mani cape”, yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Terlalu rumah sakit ini memberi hadiah ulang tahun kepada mamah, sangat lelah”.
Seperti ada malaikat
yang membantu menjualkan rumah
Saat
sakit isteri saya sering juga kontrol ke dokter ahli penyakit dalam yang dulu
pernah merawatnya, namun hasilnya kali ini tidak cukup menggembirakan. Sampai
suatu waktu isteri saya mengatakan kepada saya bahwa ia ingin dirawat di rumah
sakit, ia ingin sembuh, ingin bisa
melihat cucu.
Memang
saat itu menantu saya di Malang sedang mengikuti pendidkan S2 di Universitas
Brawijaya dan sedang mengandung bakal cucu kami yang pertama. Atas permintaan isteri
saya itu, saya mengiyakan, saya setuju karena saya ingin sekali melihat isteri
saya sembuh dan bisa bersama menengok cucu kelak bila sudah lahir.
Maka
dirawatlah isteri saya di Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan dokter ahli penyakit
dalam yang merawatnya dahulu selama kurang lebih seminggu. Yang menjaga isteri
saya selama di rumah sakit adalah anak-anak saya, menantu yang kedua secara
bergantian dan kadang kadang kerabat isteri saya, sedangkan saya sendiri di
rumah. Alhamdulillah ada juga hasil perawatan di rumah sakit walaupun tidak
terlihat pulih benar.
Kendala
yang ada pada isteri saya adalah sulitnya isteri saya makan atau minum yang
mengandung susu, yang menurut saya adalah makanan yang sehat. Saya sering mengeluhkan kepada isteri
saya bahwa mengapa isteri saya tidak bisa memaksakan makan minum yang dianggap
sehat. Saya sering mengatakan, membandingkan bahwa saya juga sakit stroke, tapi
mau makan apa saja yang sekiranya itu dianggap obat atau menyehatkan.
Tetapi
isteri saya mengatakan bahwa sakitnya benar tidak bisa membuatnya bisa makan
dengan baik, bahkan isteri saya mengatakan bahwa saya belum bisa merasakan
sakit. Saya cukup bingung mendengarnya, benarkah saya tidak bisa merasakan
sakit, atau bisa jadi saya tidak menyadari bahwa seseorang yang sakit ada
kemungkinan tubuhnya tidak bisa lagi dengan sempurna menerima makanan atau
minuman.
Saya
mempunyai rumah di komplek Margahayu Raya sebelum saya pindah ke rumah dinas di
Hegarmaah, tempat saya tinggal saat ini. Rumah di Margahayu Raya adalah rumah
pertama yang kami miliki secara kredit melaui BTN, Bank Tabungan Negara, saat
kami baru menikah. Saya ingat waktu kami membayar uang mukanya adalah dengan
menjual segala perhiasan isteri saya dan saya yang menyicilnya karena yang mempunyai
gaji sebagai pegawai negeri.
Sedangkan
rumah di jalan Hegarmanah adalah asalnya rumah dinas dari kantor yang sudah
kami beli dengan mencicil. Memang ada aturan bahwa rumah dinas yang sudah
berumur lebih dari 20 tahun dapat dijual kepada pegawai kantornya, yang
mendiaminya.
Karena
saya sudah merasa betah tinggal di rumah Hegarmanah dan sudah melunasi
cicilannya, maka saya bermaksud menjual rumah saya yang di Margahayu Raya.
Rumah saya yang di Margahayu masih asli seperti pertama dibangun 30 tahun yang
lalu karena memang saya tidak punya cukup uang untuk merenovasinya.
Setelah
saya tinggalkan 25 tahun yang lalu, rumah itu hanya kadang kadang dikontrakkan
dengan murah. Di samping saya sudah merasa kerepotan mengurus rumah itu, saya
juga butuh uang untuk persiapan kelak anak-anak menikah. .
Saya
menyuruh menantu saya memasang plakat di kaca rumah tersebut bahwa rumah itu akan
dijual dan menuliskan nomor telepon rumah saya bila perlu menghubungi. Ya,
karena rumah itu tidak bagus maka tidak
banyak orang yang menawar rumah tersebut.
Namun
pada suatu hari ada orang menelpon isteri saya menanyakan rumah saya yang akan
dijual. Istri saya bertanya pada orang itu, dari mana mendapat informasi bahwa
rumah saya akan dijual. Orang itu berkata bahwa ia mendapat informasi dari
koran dan langsung melihat rumah saya, kemudian menghubungi kami melalui nomor
telepon yang tertera di plakat yang terpasang di kaca rumah saya.
Saya
cukup heran, padahal saya tidak pernah mengiklankan penjualan rumah di koran. Isteri
saya mengatakan, mungkin ada malaikat menolong kita agar rumah bisa terjual. Saya
sendiri memperkirakan, bisa jadi ada orang yang biasa jual beli rumah, kemudian
mengiklankan rumah saya, karena sebelumnya ada juga yang bertanya lewat telepon
mengenai harga rumah yang akan dijual tersebut.
Setelah
kita berunding dengan orang yang bermaksud membeli rumah saya, maka kita
bersepakat untuk transaksi penjualan rumah saya. Kebetulan orang yang akan
membeli rumah saya itu, suami/isteri yang baik, tawar menawarpun berjalan
dengan lancar.
Alhamdulillah
saya bisa mendapatkan uang dan isteri sayapun bisa berobat ke rumah sakit
dengan leluasa dan kami mempunyi cadangan uang untuk bekal kelak anak-anak kami
menikah. Isteri sayapun bisa berbelanja berbagai keperluan sebagai persiapan
kelak menjenguk cucu, termasuk titip belanja perhiasan gelang emas untuk cucu.
Kebiasaan ibunya yang suka menghadiahkan perhiasan emas untuk tiap cucu
perempuan saat lahir, dicontoh oleh istri saya.
Akhirnya datang
juga
Waktu
terus berjalan, kami mendapat kabar bahwa cucu petama kami lahir di Malang.
Kami senang, namun kami belum dapat segera menengoknya. Saya merasa sudah pulih
dengan kondisi saya, sakit stroke saya sudah sembuh cukup baik.
Sedangkan
isteri saya masih sering sakit dan dalam sakitnya, saya tidak dapat berbuat
banyak ikut mengurusinya. Ia sering berinisiatip sendiri dengan persetujuan
saya dirawat di rumah sakit dengan ditemani anak terkecil kami. Dan jika saya
menengoknya di rumah sakit, isteri saya dan anak-anak sering menyuruh saya
pulang, untuk tidak berlama-lama di rumah sakit, lebih baik saya beristirahat
di rumah.
Pernah
saya kaget ketika saya berada di kamar sendiri, sedang bekerja di depan
komputer, tiba tiba isteri saya pulang bersama anak saya, dari perawatan Rumah
Sakit Hasan Sadikin.. Ia masih menyapa saya dengan ramahnya penuh sayang,
“papah”, seolah-olah bukan ia yang sakit. Dan saya cuma melirik sambil berkata,
“eh si mamah kok kurus sekali”. Isteri saya oleh dokter sudah dinyatakan tidak
apa apa, sembuh, cuma disarankan makan yang banyak, yang baik, yang sehat.
Namun
sayangnya isteri saya kurang suka dengan makanan yang sehat seperti susu dan
lain sebagainya sedangkan aktifitas kerjanya tetap banyak. Sampai suatu ketika
saya melihatnya bahwa kondisinya memburuk lagi, tidak baik menurut saya, sakit,
terlalu kurus. Saya memintanya agar ia dirawat lagi di Rumah Sakit Advent dan
iapun menurutinya. Dokter di rumah sakit Advent juga mengatakan, untung cepat
datang ke rumah sakit, istri saya dehidrasi, kekurangan cairan tubuh. Anak dan
menantu saya yang mengurusnya dan saya bertanggung jawab dalam pengadaan
biayanya saja.
Entah
apa yang terjadi, setelah beberapa hari isteri yang meminta agar ia diijinkan
pulang dan dokterpun menyetujuinya. Maka pada hari Minggu sore saya terkejut, isteri
saya pulang dari rumah sakit dengan diantar ambulance.
Jika saja pada saat itu saya berada di rumah sakit, pastilah saya tidak akan
mengijinkan ia pulang, ia masih perlu perawatan, saya heran mengapa dokter
mengijinkan isteri saya pulang.
Dan
secara kebetulan hari itu juga, pada
siang hari anak saya, menantu dan cucu saya yang masih bayi datang ke rumah
dari Malang, naik pesawat. Cucu saya walaupun masih bayi, diijinkan naik
pesawat dengan rekomendasi dokter. Sedangkan mbahnya, ibu dan bapak mertua anak
saya menyusul naik kereta api untuk maksud menengok isteri saya. Pada malam
harinya isteri saya tidur bersama cucu saya dan anak terkecil saya, sedangkan
saya tidur di kamar lain.
Pada
pagi harinya kita bangun seperti biasa dan isteri saya meminta dibaringkan di
sofa ruang tamu. Anak saya yang kedua sudah pergi kerja ke kantor sedangkan
saya tidak karena sedang mengambil cuti tahunan. Walaupun dalam keadaan sakit, isteri
saya masih juga ikut mengatur keadaan rumah, meminta tirai jendela di buka
lebar agar sinar matahari masuk. .isteri saya juga meminta anak saya yang baru
datang dari Malang, memasangkan tempat air aqua kemasan gelas yang baru, yang
belum digunakan dan mengisinya dengan aqua gelas.
Saya
memang agak risi melihat isteri saya dalam keadaan sakit masih saja ikut
mengatur. Merasakan situasi itu, isteri saya yang terbaring di kursi tamu, memanggil
saya agar mendekati dan sayapun menghampirinya, berjongkok. Setelah mendekat isteri
saya berkata kepada saya bahwa agar saya jangan marah dan kecewa. Isteri saya
berkata sambil menyabut rambut putih yang ada di kepala saya. Memang ketika ia
sehat suka menyabuti rambut putih saya, sedangkan jika saya dimintai tolong
menyabuti rambut putihnya, saya agak malas, jadi ngantuk.
Mendengar
isteri saya berkata begitu, sambil tertawa saya katakan, bahwa saya tidak marah
dan tidak kecewa. Saya katakan bahwa saya hanya ingin agar isteri saya dalam
situasi sakit janganlah menguras energi untuk hal-hal sepele, mengatur keadaan
rumah. Dan saya ingin agar isteri saya mau memaksakan diri untuk makan makanan
yang sekiranya dapat menyehatkan, menyembuhkan.
Pagi
itu isteri saya merasakan agak sesak nafas sedangkan persediaan oksigen untuk
membantu bernafas sedikit, maklum tabung yang digunakan ukuran kecil. Anak saya
yang terbesar berinisiatif berangkat
untuk membeli oksigen. Secara kebetulan pada pagi itu, adik laki laki dari isteri saya datang dari
Sidoarjo menengok isteri saya. Saya sendiri menyetel lagu di komputer yang ada
di ruang tamu, kesenangan saya lagu “House for Sale”.
Beberapa
waktu kemudian tampak isteri saya seperti terengah-engah, sesak, adik isteri
saya memijiti tangannya dan sayapun ikut memijiti kaki isteri saya. Namun
seterusnya kondisi yang menimpa isteri saya kian memburuk. Melihat situasi
demikian saya merasa khawatir dan segera saya mematikan lagu di komputer dengan
cara langsung menyabut steker listrik komputer dari stop kontak listrik.
Seketika juga adik isteri saya menyebut nyebut nama isteri saya, “mbak Yani,
mbak Yani”. Rupanya saat itu isteri saya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Melihat
kejadian itu, Listya anak saya yang terkecil menangis dan buru buru ke kamar
kakaknya untuk mengambil jilbab kakaknya dan memakainya. Dia ingat kata-kata
ibunya bahwa ibunya ingin melihat dia memakai jilbab.
Saya
masih penasaran, belum yakin isteri saya sudah meninggal, saya meminta bantuan
petugas klinik kesehatan Secapa, Sekolah Calon Perwira yang berada di dekat
rumah saya dan juga memanggil dokter di kantor saya, sekalian dengan
memberitahu anak saya di kantor. Barulah
dokter meyakinkan saya bahwa isteri saya sudah meninggal. Saya termenung, sadar
bahwa isteri saya tak akan kembali lagi, meninggalkan keluarga untuk selamanya.
Saya
sangat terpukul, rupanya Tuhan menakdirkan isteri saya sudah cukup menemani
saya. Mungkin Tuhan telah memberikan waktu yang lebih karena dulu ketika ia
pingsan dalam sakitnya, ia merasakan
berjalan dalam sebuah lorong menuju titik cahaya namun kembali lagi tersadarkan
karena mendengar suara bibinya memanggil, “Yani, Yani kembali, kasihan kang
Didi, suamimu beserta anak anak”.
Saya
merasa ini sebuah suratan takdir dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah memberi bonus waktu yang lebih bagi isteri
saya menemani saya bersama anak-anak. Dia adalah milik Tuhannya, milik Allah SWT.
Demikian juga dengan kepulangan isteri
saya dari rumah sakit yang diijinkan
dokter. Kalau saja saat itu saya berada
di rumah sakit, tentu saya tidak akan mengijinkan isteri saya pulang dari rumah
sakit. Dan ternyata kepulangan isteri saya dari rumah sakit, memberikan
kesempatan bagi isteri saya untuk melihat cucu pertamanya. Kalau saja isteri
saya tetap masih di rumah sakit, tentu seorang bayi berumur 1 bulan tidak akan
diijinkan untuk ikut menengok isteri saya yang sakit. Keinginan isteri saya
untuk melihat cucunya terkabulkan, namun untuk yang pertama dan terakhir. Saya
tak habis pikir.
Ternyata
yang dinginkan isteri saya dengan menyuruh anaknya untuk memasangkan tempat air
aqua yang baru dan mengisinya dengan kemasan aqua gelas, berguna karena memang
kemudian banyak keluarga dan tamu tamu yang datang. Sepertinya isteri saya
dalam setiap kesempatan menginginkan hal yang terbaik buat saya, buat keluarganya.
Gambar VI,1
Ketika istri sakit dirawat di R S Advent
Saya
dan keluarga mengadakan acara tahlilan atas meninggalnya isteri saya. Anak
saya, Widya mengatakan kepada saya bahwa ibunya sempat berkata kepadanya, walaupun
Widya dan suaminya tidak berkenan dengan kebiasaan tahlilan, tapi isteri saya
ingin ditahlilkan. Saya terkadang merasa heran mengapa isteri saya berkata soal
tahlil kepada anak saya, seakan-akan sudah merasa akan meninggal. Tapi terhadap
saya tidak pernah berkata soal yang demikian.
Selang beberapa hari setelah isteri saya meninggal, suami/isteri yang membeli rumah saya datang ke rumah karena ada suatu surat yang diperlukan. Mereka kaget mendengar bahwa istri saya sudah meninggal, isteri yang membeli rumah itu mengatakan kepada saya, mengingatkan bahwa isteri saya pernah berkata kepadanya bahwa ia ingin berkurban sapi. Maka sayapun di Hari Raya Qurban melaksanakan kurban sapi..
Beberapa
waktu berlalu, saya kontrol ke dr Anam di RSHS dengan diantar anak terkecil
saya. Dr Anam bertanya kepada saya karena ia merasa sudah lama tidak berjumpa isteri
saya, “mana isteri anda yang baik, biasa mengantar anda?”. Saya pun menjawab
bahwa isteri saya sudah meninggal. Dr Anam dan perawatpun kaget, terdiam
sejenak, kemudian berkata “sebentar saya ingin mengenang isteri anda, dia
begitu baik”. Dr Anam kemudian bertanya,
apa penyebab isteri saya meninggal. Sayapun menjelaskan bahwa isteri
saya meninggal karena sakit sirosis hati dan hepatitis yang lama dideritanya.
Dr Anam pun kemudian berkata bahwa sudah benar yang sakit sirosis mampu
mengurus yang stroke tapi yang stroke tidak bisa mengurus yang sakit sirosis.
Kemudian sambil memeriksa saya, dr Anam berkata bahwa kehidupan ini milik yang
di atas, Tuhan maksudnya.
(Isteri yang
baik, setia, penuh dengan keikhlasan
melayani keluarga adalah anugerah tak
ternilai dari Allah SWT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar